25 August 2013

Cerita Berderaplah Satu

Kemarin yang khotbah di gereja kami Pdt Untung Ongkowijaya.

Sudah lama sekali kudengar nama pendeta ini. Aku terutama memberi perhatian padanya karena dia yang menggubah lagu Simalungun, "Tading Ma Ham Botou Na Tading," menjadi salah satu nyanyian rohani di GKI "Hiburkanlah. Hiburkanlah Umatmu," dan masuk ke kitab Nyanyian Kidung Baru (NKB) No 51.
Selain bercerita tentang sejarah GKI (yang kemarin berumur 25 tahun), dalam khotbahnya sekilas Pdt Untung bercerita tentang lagu Himne GKI, "Berderaplah Satu".

Menurut dia, cara kami jemaat di GKI Sarua Indah menyanyikan lagu itu, sudah benar; menyanyikannya dengan tempo lambat syahdu, bukan dengan bergegas berderap-derap seperti yang mungkin banyak dibayangkan orang bila mengacu pada syairnya.

Kata Pdt Untung, pencipta lagu tersebut (H. Abdi Wahyudi) memang menciptakannya sebagai himne, gita pujian dan pujaan. Jadi ia selayaknyalah dinyanyikan secara syahdu. Himne bukan mars, komposisi musik yang dimainkan dengan irama kuat dan berakar pada tradisi baris-berbaris tentara.

Hanya saja, himne biasanya adalah pujian dan pujaan untuk Tuhan. Atau bila di zaman Yunani, pujaan kepada dewa-dewi. Sedangkan GKI bukan Tuhan. GKI tidak perlu himne, kata Pak Pendeta.
Oleh karena itu, lanjut Pdt Untung, sudah pernah juga hal itu dibicarakan kepada pencipta lagu agar ia diubah bukan lagi sebagai himne. Tetapi agaknya sang pencipta berkeberatan. Ia lebih memilih lagu itu tidak usah dicantumkan dalam NKB daripada ia diubah dari aslinya.

Sampai sekarang lagu itu tetap tercantum dalam NKB no 230. Adakalanya --terutama bila organisnya pemuda-pemudi-- lagu itu dimainkan dalam irama mars tetapi sering juga dalam bentuk aslinya, sebagai himne.

Dan, minggu kemarin, kami nyanyikan dia dengan irama syahdu. Menurut Pdt Untung, lagu itu memang merupakan bagian dari sejarah perjalanan GKI, yang secara formal berusia 25 tahun, tetapi kalau dirunut, ia sudah hadir di zaman Belanda sebagai inisiatif orang-orang Tionghoa peranakan, sebagai gereja (suku) bangsa.

Lalu di zaman kemerdekaan, mereka merasa keTionghoa-an saja tidak cukup, melainkan harus terbuka dan meng-Indonesia. Maka lahirlah GKI, mula-mula berupa GKI Jatim, GKI Jateng dan GKI Jabar, tetapi berkembang terus menjadi satu hingga seperti saat ini. Dan kami yang dari keluarga campuran ini, merasa nyaman berada dalam wadahnya, semakin merasakan lagi bahwa Tuhan itu tidak perlu asing hanya karena kita tak bisa berbahasa Batak atau berbahasa Jawa.

Selamat ulang tahun GKI, walaupun diantara status facebook teman-temanku, aku tak banyak menemukan ucapan selamat ulang tahun kepada gereja itu.

No comments:

Post a Comment