Foto-foto ini saya peroleh dari sebuah akun instagram yang dibagikan oleh Senatari Situmorang
lewat akun facebooknya. Salah satu menunjukkan seekong gukguk yang
rebahan di atas pusara tuannya. Dan konon sudah enam tahun gukguk itu
secara rutin melakukannya.
Dan aku teringat pada tulisan-tulisan awal ketika mulai menekuni blog, hobi yang kini terabaikan setelah ada facebook. Berikut ini tulisan lama itu, yang berjudul "Anjing Penjala Manusia."
Kami memanggilnya Baraun. Sebenarnya namanya lebih keren dari itu. Brown. Tapi lidah orang Batak susah diajak mengejanya ala orang Bule. Jadi lah ia dipanggil Baraun.
Baraun adalah seekor anjing peliharaan nenek, dulu ketika saya masih kecil. Berkulit warna coklat, tampangnya biasa belaka. Seperti umumnya anjing kampung di desa kami, Sarimatondang.
Tapi nenek (oppung) sangat sayang kepadanya. Dan Baraun tahu itu. Ia paling manja pula kepada oppung.
Baraun tak terlalu istimewa sebagai anjing peliharaan. Ia sering juga membuat kesal. Misalnya, ia sering juga salah gonggong. Tiap orang yang dia tidak kenal, pasti ia gonggong. Dan gonggongannya berisik.
Saya pun pernah, bahkan sering dibuat kesal olehnya. Kaus kaki saya yang semerbaknya memang sering menyerupai aroma ikan asin, pernah dibawa-bawanya sampai ke ujung kampung. Tak terhitung lagi berapa banyak sandal yang putus terkena gigitannya. Juga sepatu.
Tapi namanya anjing peliharaan, semua kami menyayangi Baraun. Salah satunya adalah karena kami merasa aman bersama dia. Dia adalah anjing penjaga yang lumayan baik. Ia mengenal kami satu per satu, sehingga kami tak pernah takut ia akan salah gonggong kepada kami.
Hingga pada suatu hari, Baraun terlihat loyo, tak seperti biasa. Jalannya lunglai. Matanya memelas. Nenek berkali-kali membuatkan makanan istimewa buatnya. Tapi tak disentuhnya.
Tiga hari kemudian ia terkapar tak bernafas. Baraun mati.
Barulah kali itu saya melihat nenek bersedih sedemikian rupa kehilangan hewan peliharaanya. Kami sering kehilangan ayam. Juga pernah ikan di tambak nenek dikuras orang yang kurang kerjaan. Tapi saya tidak melihat nenek sesedih kehilangan Baraun.
Nenek tak habis-habisnya bertanya kenapa Baraun bisa sakit. Kenapa Baraun bisa pergi. Dan ketika Baraun akan dimakamkan, nenek menyuruh kami mengantarkannya ke 'liang lahat.' Ia tak tega mengantarkan Baraun.
***
Baraun melintas dalam ingatan saya ketika Pendeta Arti Sembiring berkhotbah di gereja kami, di GKI Kwitang. Pendeta Arti adalah seorang pendeta yang dalam hemat saya dimatangkan oleh pengalaman. Khotbah-khotbahnya selalu ia sampaikan dengan sangat serius. Kadang-kadang ia selipkan juga lelucon. Tetapi ia bukan tipe pendeta yang khotbahnya diingat orang karena cerita-cerita lucu. Pak Arti selalu menyampaikan khotbahnya dengan santun, dengan bahasa Indonesia yang sangat resmi.
Walau begitu khotbahnya selalu menarik dan mendalam. Ia pintar membuat analogi. Ia juga sekali dua mengambil cerita-cerita menarik untuk memperjelas khotbahnya. Dan, itulah yang ia lakukan ketika menceritakan sebuah kisah yang konon menurut dia, diambil dari cerita di Belanda.
Syahdan, ada sepasang kakek-nenek yang tinggal di sebuah kota di Belanda. Mereka hanya berdua saja di rumah mereka. Anak-anak mereka sudah besar.
Mereka menghabiskan waktu berdua dengan saling mengasihi. Kemana saja mereka pergi berdua, kecuali dalam satu hal. Si nenek rajin ke gereja, tetapi si kakek tidak.
Nenek selalu mengajak suaminya beribadah setiap hari Minggu, tapi tak pernah diladeni. Akhirnya, si nenek menyerah. Ia kemudian mengajak anjing peliharaan mereka.
Sejak itulah si nenek selalu ke gereja dengan Guguk, anjing peliharaannya itu. Setiap kali terdengar lonceng gereja setengah jam sebelum ibadah dimulai, Guguk sudah gelisah, bersiap-siap akan berangkat. Di dalam gereja, Guguk duduk dengan santun, bersama si nenek. Ketika si nenek berdiri, Guguk juga ikut berdiri.
Begitulah seterusnya.
Sampai pada suatu hari, si nenek tutup usia. Sang kakek kesepian dan ia hanya bisa menumpahkan kesedihannya kepada Guguk. Sekarang, si kakek kemana-mana selalu berdua dengan Guguk. Dimana ada kakek, Guguk pasti di sana.
Tapi tibalah hari Minggu. Ketika lonceng gereja berbunyi, Guguk seperti biasa, gelisah dan bersiap hendak pergi. Tapi kali ini ia kecewa karena sang kakek mengajaknya entah pergi kemana. Guguk sedih dan sebenarnya tak sudi melewatkan hari Minggu itu dengan berjalan-jalan entah kemana.
Pada suatu hari Minggu, tiba-tiba saja Guguk menghilang. Si kakek kelabakan. Dia mencari Guguk kemana-mana tetapi tak menemukannya. Ia menyusuri jalan-jalan yang biasa ia lalui bersama Guguk, tetapi juga tidak ditemuinya anjing kesayangannya itu.
Si kakek baru ingat, itu hari Minggu. Ia lalu menuju gereja dan mengintip dari jendela. Ia melihat Guguk duduk anteng bersama dengan peserta ibadah lainnya.
Dari pintu, si kakek dengan setengah berbisik memanggil-manggil Guguk. Tapi anjing itu tak ambil pusing. Ia tetap mengikuti ibadah seperti orang-orang lainnya.
Mau tak mau sang kakek menungguinya. Dan, ternyata, secara perlahan si kakek merasakan kedamaian ketika bersama-sama dengan orang-orang yang beribadah itu.
Sebagaimana Anda bisa duga, cerita ini berakhir dengan happy ending. Si kakek sejak itu ikut bersama-sama Guguk beribadah di gereja. Kali ini bukan hanya karena ia ingin menemani Guguk, tetapi karena ia benar-benar menikmati ibadah itu.
Moral ceritanya, menurut Pak Arti, Guguk bisa menjadi penjala manusia menuju Tuhan. Apakah ada alasan manusia tak dapat menjala manusia?
(Cerita ini diambil dari ilustrasi Khotbah Pdt Arti Sembiring pada Minggu, 13 November 2005)
Dan aku teringat pada tulisan-tulisan awal ketika mulai menekuni blog, hobi yang kini terabaikan setelah ada facebook. Berikut ini tulisan lama itu, yang berjudul "Anjing Penjala Manusia."
Kami memanggilnya Baraun. Sebenarnya namanya lebih keren dari itu. Brown. Tapi lidah orang Batak susah diajak mengejanya ala orang Bule. Jadi lah ia dipanggil Baraun.
Baraun adalah seekor anjing peliharaan nenek, dulu ketika saya masih kecil. Berkulit warna coklat, tampangnya biasa belaka. Seperti umumnya anjing kampung di desa kami, Sarimatondang.
Tapi nenek (oppung) sangat sayang kepadanya. Dan Baraun tahu itu. Ia paling manja pula kepada oppung.
Baraun tak terlalu istimewa sebagai anjing peliharaan. Ia sering juga membuat kesal. Misalnya, ia sering juga salah gonggong. Tiap orang yang dia tidak kenal, pasti ia gonggong. Dan gonggongannya berisik.
Saya pun pernah, bahkan sering dibuat kesal olehnya. Kaus kaki saya yang semerbaknya memang sering menyerupai aroma ikan asin, pernah dibawa-bawanya sampai ke ujung kampung. Tak terhitung lagi berapa banyak sandal yang putus terkena gigitannya. Juga sepatu.
Tapi namanya anjing peliharaan, semua kami menyayangi Baraun. Salah satunya adalah karena kami merasa aman bersama dia. Dia adalah anjing penjaga yang lumayan baik. Ia mengenal kami satu per satu, sehingga kami tak pernah takut ia akan salah gonggong kepada kami.
Hingga pada suatu hari, Baraun terlihat loyo, tak seperti biasa. Jalannya lunglai. Matanya memelas. Nenek berkali-kali membuatkan makanan istimewa buatnya. Tapi tak disentuhnya.
Tiga hari kemudian ia terkapar tak bernafas. Baraun mati.
Barulah kali itu saya melihat nenek bersedih sedemikian rupa kehilangan hewan peliharaanya. Kami sering kehilangan ayam. Juga pernah ikan di tambak nenek dikuras orang yang kurang kerjaan. Tapi saya tidak melihat nenek sesedih kehilangan Baraun.
Nenek tak habis-habisnya bertanya kenapa Baraun bisa sakit. Kenapa Baraun bisa pergi. Dan ketika Baraun akan dimakamkan, nenek menyuruh kami mengantarkannya ke 'liang lahat.' Ia tak tega mengantarkan Baraun.
***
Baraun melintas dalam ingatan saya ketika Pendeta Arti Sembiring berkhotbah di gereja kami, di GKI Kwitang. Pendeta Arti adalah seorang pendeta yang dalam hemat saya dimatangkan oleh pengalaman. Khotbah-khotbahnya selalu ia sampaikan dengan sangat serius. Kadang-kadang ia selipkan juga lelucon. Tetapi ia bukan tipe pendeta yang khotbahnya diingat orang karena cerita-cerita lucu. Pak Arti selalu menyampaikan khotbahnya dengan santun, dengan bahasa Indonesia yang sangat resmi.
Walau begitu khotbahnya selalu menarik dan mendalam. Ia pintar membuat analogi. Ia juga sekali dua mengambil cerita-cerita menarik untuk memperjelas khotbahnya. Dan, itulah yang ia lakukan ketika menceritakan sebuah kisah yang konon menurut dia, diambil dari cerita di Belanda.
Syahdan, ada sepasang kakek-nenek yang tinggal di sebuah kota di Belanda. Mereka hanya berdua saja di rumah mereka. Anak-anak mereka sudah besar.
Mereka menghabiskan waktu berdua dengan saling mengasihi. Kemana saja mereka pergi berdua, kecuali dalam satu hal. Si nenek rajin ke gereja, tetapi si kakek tidak.
Nenek selalu mengajak suaminya beribadah setiap hari Minggu, tapi tak pernah diladeni. Akhirnya, si nenek menyerah. Ia kemudian mengajak anjing peliharaan mereka.
Sejak itulah si nenek selalu ke gereja dengan Guguk, anjing peliharaannya itu. Setiap kali terdengar lonceng gereja setengah jam sebelum ibadah dimulai, Guguk sudah gelisah, bersiap-siap akan berangkat. Di dalam gereja, Guguk duduk dengan santun, bersama si nenek. Ketika si nenek berdiri, Guguk juga ikut berdiri.
Begitulah seterusnya.
Sampai pada suatu hari, si nenek tutup usia. Sang kakek kesepian dan ia hanya bisa menumpahkan kesedihannya kepada Guguk. Sekarang, si kakek kemana-mana selalu berdua dengan Guguk. Dimana ada kakek, Guguk pasti di sana.
Tapi tibalah hari Minggu. Ketika lonceng gereja berbunyi, Guguk seperti biasa, gelisah dan bersiap hendak pergi. Tapi kali ini ia kecewa karena sang kakek mengajaknya entah pergi kemana. Guguk sedih dan sebenarnya tak sudi melewatkan hari Minggu itu dengan berjalan-jalan entah kemana.
Pada suatu hari Minggu, tiba-tiba saja Guguk menghilang. Si kakek kelabakan. Dia mencari Guguk kemana-mana tetapi tak menemukannya. Ia menyusuri jalan-jalan yang biasa ia lalui bersama Guguk, tetapi juga tidak ditemuinya anjing kesayangannya itu.
Si kakek baru ingat, itu hari Minggu. Ia lalu menuju gereja dan mengintip dari jendela. Ia melihat Guguk duduk anteng bersama dengan peserta ibadah lainnya.
Dari pintu, si kakek dengan setengah berbisik memanggil-manggil Guguk. Tapi anjing itu tak ambil pusing. Ia tetap mengikuti ibadah seperti orang-orang lainnya.
Mau tak mau sang kakek menungguinya. Dan, ternyata, secara perlahan si kakek merasakan kedamaian ketika bersama-sama dengan orang-orang yang beribadah itu.
Sebagaimana Anda bisa duga, cerita ini berakhir dengan happy ending. Si kakek sejak itu ikut bersama-sama Guguk beribadah di gereja. Kali ini bukan hanya karena ia ingin menemani Guguk, tetapi karena ia benar-benar menikmati ibadah itu.
Moral ceritanya, menurut Pak Arti, Guguk bisa menjadi penjala manusia menuju Tuhan. Apakah ada alasan manusia tak dapat menjala manusia?
(Cerita ini diambil dari ilustrasi Khotbah Pdt Arti Sembiring pada Minggu, 13 November 2005)
No comments:
Post a Comment