Foto: femina.co.id |
Ibu pendeta sudah mengirimkan bahan-bahannya via email dua hari yang lalu, sehingga aku tak dengan tangan kosong ketika berbicara nanti. Tetapi sampai sekarang belum juga kulirik. Aku masih tertatih-tatih mengumpulkan memori dari pengalaman-pengalaman hidupku, apakah betul aku pernah bersentuhan dengan persoalan gender. Atau jangan-jangan aku hanya menemukannya dalam literatu-literatur belaka tanpa pernah merasakannya. Kalau itu yang terjadi, dua menit saja berdiri di depan orang-orang, lidahku pasti akan terasa kelu.
Dan aku juga masih harus berjuang menjaga objektifitasku. Di rumah aku dikelilingi dua perempuan. Apalagi, aku hanya punya anak semata wayang dan perempuan pula. Apakah aku tak akan jadi bias karenanya, dan akan menghantam habis setiap pandangan yang tidak mengakui kesetaraan gender?
Lalu aku juga cukup terganggu dengan pengalamanku sehari-hari di atas kereta. Di kereta itu, dua gerbong --paling depan dan paling belakang -- diperuntukkan untuk perempuan. Dan yang aku dengar --ini pengakuan dari para perempuan sendiri -- keadaan di gerbong khusus perempuan itu lebih ganas dari pada di gerbong lainnya. Di gerbong perempuan, perebutan tempat duduk antarsesama perempuan demikian keras dan dinginnya. Tidak ada lagi tenggang rasa. Apabila di gerbong campuran, para penumpang (laki-laki maupun perempuan) masih sering mengalah memberikan tempat duduk kepada perempuan yang hamil, perempuan yang lebih tua, atau kepada perempuan yang berbeban berat, atau yang membawa anak, di gerbong khusus perempuan itu konon lebih sering yang berlaku adalah hukum rimba. Yang kuat yang menang. Atau yang kuat pura-pura lemah, pura-pura tidur dan memejamkan mata agar tak melihat wanita hamil atau ibu tua yang berdiri di dekat pintu.
Dari kaca mata kasih karunia dan pengampunan, aku menjadi merasa terganggu dengan pertanyaan, untuk apa para perempuan itu memperjuangkan kesetaraan gender, jika ternyata pantulannya kemudian adalah seperti yang terjadi di gerbong khusus perempuan itu: hukum rimba berlaku karena merasa sama-sama setara sebagai perempuan.
Atau dalam bahasa para ekonom, ada free rider dalam perjuangan kesetaraan gender ini, penumpang gelap yang berjubahkan moral hazard. Yaitu, kesetaraan gender dituntut untuk hal-hal yang menyenangkan saja. Sedangkan untuk hal-hal yang tidak menguntungkan, bukan bahasa kesetaraan gender yang dikedepankan.
Dan makin terasa rumitnya perbincangan kesetaraan gender ini, apabila aku mempertimbangkan dua ribut-ribut di Yogyakarta. Ribut-ribut pertama adalah apa yang masih hangat saat ini. Tentang keputusan Sultan Yogya mengeluarkan sabda yang mau tak mau, pasti akan dikaitkan dengan kesetaraan gender. Dan sampai hari ini, belum pernah aku dengar suara yang agak jelas dari kaum perempuan tentang hal ini.
Ribut-ribut yang kedua adalah kejadian beberapa waktu lalu, ketika seorang perempuan Batak dibully di media sosial bahkan diancam akan diusir dari Yogya dan harus berhadapan dengan majelis hakim, gara-gara kicauannya di media sosial yang konon menghina masyarakat Yogyakarta. Itu perempuan lho. Dan perempuan Batak pula.
Dan terlepas dari betapa salahnya ia dengan tindakannya itu, diam-diam di hati kecilku aku mengaguminya juga. Berapa banyak laki-laki yang bisa setegar dia, menghadapi kenyataan pahit ini dengan langkah maju. Bukan dengan cara menghindar apalagi melarikan diri, terbang ke luar negeri dan pindah sekolah ke sana. Aku hampir bisa memastikan (terutama dari pengalaman menghadiri acara penghiburan kepada keluarga-keluarga yang berduka karena kematian salah satu anggotanya) dalam perkara menghadapi kenyataan pahit, para perempuan lebih bisa menegakkan kepala ketimbang laki-laki.
Tapi yang paling membuatku gemetar dan gentar tetapi juga gemar menghadapi hari Sabtu nanti adalah membayangkan apabila ada yang bertanya, apa yang sudah aku lakukan dengan kesetaraan gender yang aku bicarakan. Dalam skala 0-sampai sembilan, di level berapakah aku?
Kurasa wajahku akan memerah apabila dipaksa menjawab ini. Kurasa mendapat nilai 5,5 pun sudah akan membuatku bersyukur. Tetapi satu hal yang ingin kukatakan ialah, bila kuingat pujian-pujian yang pernah dilontarkan superchef padaku, ternyata bukan ketika aku membelikannya, misalnya, sepatu yang sudah lama diidam-idamkannya (jarang sekali aku lakukan), atau membawanya menonton bioskop atau makan di restoran yang mejanya berputar smile emoticon. Pujian yang justru tak pernah aku lupakan ialah ketika suatu hari aku sedang berada di rumah, dan tiba-tiba hujan turun, lalu aku bergegas berlari mengangkat jemuran dengan tergopoh-gopoh.
Dan menyaksikan itu, si superchef itu memandangku dengan senang dan berkata, "wow.......gantengnya parsarimatondang ini kalau lagi beres-beres begitu." Aku tahu itu adalah pujian yang 90 persen lebay. Tetapi bila dengan mengangkat jemuran saja para perempuan itu sudah mau memuji-muji kita, bukankah berarti kesetaran gender itu sebetulnya tidak rumit-rumit amat dan bukan ancaman bagi supremasi laki-laki?
No comments:
Post a Comment