Tadi bersama ibu pendeta, aku ikut melakukan percakapan gerejawi
dengan sepasang calon suami-istri yang akan diteguhkan pernikahannya di
gereja kami. Ini kedua kalinya kami melakukan percakapan gerejawi dalam
dua minggu ini. Pekan lalu kami juga mengadakan percakapan gerejawi
dengan calon suami-istri lainnya.
Secara umum percakapan gerejawi
termasuk dalam percakapan dalam rangka penggembalaan majelis jemaat
kepada jemaat. Ada pun percakapan gerejawi dengan anggota yang akan
menikah bertujuan untuk "mengadakan pemeriksaan kepada calon mempelai
tentang kesiapan calon untuk melangkah ke dalam kehidupan yang baru
sebagai suami istri."
Percakapan, sebagaimana layaknya
percakapan, tentulah berlangsung dua arah. Namun, agar ia berlangsung
dengan lancar sesuai tujuan, ada panduan pertanyaan yang telah disusun
untuk dipercakapkan. Dari bercakap-cakap itu kemudian dihasilkan
rekomendasi untuk dilaksanakan terkait dengan rencana pernikahan calon.
Menurut aturannya, percakapan gerejawi dapat menghasilkan rekomendasi
"ya," artinya calon suami-istri tersebut akan dilayani pemberkatan
pernikahannya. Rekomendasi lain adalah ditunda, atau bahkan ditolak.
Sepanjang pengalamanku dalam dua tahun terakhir ikut melakukan
percakapan, belum pernah ada rekomendasi menunda apalagi menolak.
Semuanya mendapat rekomendasi untuk dilayani peneguhan pernikahannya. Mereka
sebelumnya umumnya telah pula mengikuti katekisasi pernikahan selama
beberapa minggu.
Dan, apa yang aku ingin katakan dari hasil
percakapan-percakapan ini (tentu aku tak akan cerita tentang materi
faktual percakapan karena itu merupakan rahasia jabatan yang harus
dibawa sampai ajal), adalah seperti halnya aku meyakini bahwa adalah
sebuah misteri mengapa Tuhan mempertemukan kita dengan pasangan kita,
adalah sama misterinya ketika para pasangan yang menikah itu mencoba
membayangkan apa yang akan mereka hadapi dalam mahligai rumah tangga
yang akan mereka bentuk.
Dan, dengan landasan berpikir yang
demikian, aku (dan semoga kawan-kawan juga demikian) selalu berusaha
untuk mempercakapi mereka dengan bingkai empati, bahwa walaupun kami
yang mempercakapi itu (kebanyakan) sudah lebih dahulu menikah, walaupun
kami sedikit lebih tahu tentang apa dan bagaimana keluarga yang
Kristiani itu, pada hakikatnya pernikahan itu adalah misteri yang hanya
Tuhan yang sudah tahu persis perjalanannya. Pernikahan tidak ada
template bakunya dalam arti ia bisa dicopy paste dari satu pernikahan ke
pernikahan lainnya. Sama dengan setiap individu tercipta dengan
keunikan masing-masing, tiap pernikahan juga adalah unik. Dan tiap
pasangan harus menemukan caranya sendiri mengayuh biduk rumah tangga
mereka kelak agar ia mencerminkan Kasih Kristus itu sendiri yang secara
misterius telah mempersatukan mereka. Dengan demikian kami yang
mempercakapi itu sebetulnya hanya memberi bekal sedikit saja.
Seperseratusnya pun mungkin tak sampai.
Yang tidak kalah
penting, saat-saat mempercakapi para calon suami-istri itu adalah juga
saat-saat yang tak terhindarkan untuk juga bercakap-cakap dengan diri
sendiri. Sebab dari bagaimana para calon suami-istri itu menjawab
pertanyaan-pertanyaan kami ( ada yang kikuk,ada yang mesra, ada yang
lama berpandang-pandangan, mempersilakan pasangan terlebih dulu
menjawab, ada yang masih malu dan jaim berbicara tentang baik buruk
pasangannya, tetapi ada juga yang lancar seperti pengacara memberikan
penjelasan kepada hakim) aku juga mempercakapi diriku sendiri,
membayangkan biduk dan laut yang telah kuarungi selama ini.
Minggu depan, sepasang lagi yang akan menikah akan kami percakapi.
No comments:
Post a Comment