31 October 2015

Percakapan Gerejawi dengan yang akan Menikah

Tadi bersama ibu pendeta, aku ikut melakukan percakapan gerejawi dengan sepasang calon suami-istri yang akan diteguhkan pernikahannya di gereja kami. Ini kedua kalinya kami melakukan percakapan gerejawi dalam dua minggu ini. Pekan lalu kami juga mengadakan percakapan gerejawi dengan calon suami-istri lainnya.

Secara umum percakapan gerejawi termasuk dalam percakapan dalam rangka penggembalaan majelis jemaat kepada jemaat. Ada pun percakapan gerejawi dengan anggota yang akan menikah bertujuan untuk "mengadakan pemeriksaan kepada calon mempelai tentang kesiapan calon untuk melangkah ke dalam kehidupan yang baru sebagai suami istri."

Percakapan, sebagaimana layaknya percakapan, tentulah berlangsung dua arah. Namun, agar ia berlangsung dengan lancar sesuai tujuan, ada panduan pertanyaan yang telah disusun untuk dipercakapkan. Dari bercakap-cakap itu kemudian dihasilkan rekomendasi untuk dilaksanakan terkait dengan rencana pernikahan calon.


Menurut aturannya, percakapan gerejawi dapat menghasilkan rekomendasi "ya," artinya calon suami-istri tersebut akan dilayani pemberkatan pernikahannya. Rekomendasi lain adalah ditunda, atau bahkan ditolak.
Sepanjang pengalamanku dalam dua tahun terakhir ikut melakukan percakapan, belum pernah ada rekomendasi menunda apalagi menolak. Semuanya mendapat rekomendasi untuk dilayani peneguhan pernikahannya. Mereka sebelumnya umumnya telah pula mengikuti katekisasi pernikahan selama beberapa minggu.

Dan, apa yang aku ingin katakan dari hasil percakapan-percakapan ini (tentu aku tak akan cerita tentang materi faktual percakapan karena itu merupakan rahasia jabatan yang harus dibawa sampai ajal), adalah seperti halnya aku meyakini bahwa adalah sebuah misteri mengapa Tuhan mempertemukan kita dengan pasangan kita, adalah sama misterinya ketika para pasangan yang menikah itu mencoba membayangkan apa yang akan mereka hadapi dalam mahligai rumah tangga yang akan mereka bentuk.

Dan, dengan landasan berpikir yang demikian, aku (dan semoga kawan-kawan juga demikian) selalu berusaha untuk mempercakapi mereka dengan bingkai empati, bahwa walaupun kami yang mempercakapi itu (kebanyakan) sudah lebih dahulu menikah, walaupun kami sedikit lebih tahu tentang apa dan bagaimana keluarga yang Kristiani itu, pada hakikatnya pernikahan itu adalah misteri yang hanya Tuhan yang sudah tahu persis perjalanannya. Pernikahan tidak ada template bakunya dalam arti ia bisa dicopy paste dari satu pernikahan ke pernikahan lainnya. Sama dengan setiap individu tercipta dengan keunikan masing-masing, tiap pernikahan juga adalah unik. Dan tiap pasangan harus menemukan caranya sendiri mengayuh biduk rumah tangga mereka kelak agar ia mencerminkan Kasih Kristus itu sendiri yang secara misterius telah mempersatukan mereka. Dengan demikian kami yang mempercakapi itu sebetulnya hanya memberi bekal sedikit saja. Seperseratusnya pun mungkin tak sampai.

Yang tidak kalah penting, saat-saat mempercakapi para calon suami-istri itu adalah juga saat-saat yang tak terhindarkan untuk juga bercakap-cakap dengan diri sendiri. Sebab dari bagaimana para calon suami-istri itu menjawab pertanyaan-pertanyaan kami ( ada yang kikuk,ada yang mesra, ada yang lama berpandang-pandangan, mempersilakan pasangan terlebih dulu menjawab, ada yang masih malu dan jaim berbicara tentang baik buruk pasangannya, tetapi ada juga yang lancar seperti pengacara memberikan penjelasan kepada hakim) aku juga mempercakapi diriku sendiri, membayangkan biduk dan laut yang telah kuarungi selama ini.

Minggu depan, sepasang lagi yang akan menikah akan kami percakapi.

No comments:

Post a Comment