Kehadiran pengerja gereja yang blusukan nampaknya sangat dirindukan. Anggota jemaat mendapat wadah dan kesempatan untuk menyampaikan semua pergumulan hidup yang dihadapi sekaligus mendapat ‘siraman rohani.’ Kehadiran secara ‘fisik’ tentu saja berbeda nilainya dengan sekadar ‘kehadiran suara’ melalui alat telekomunikasi. Dengan blusukan, pengerja gereja memiliki wadah untuk melihat langsung dan terlibat dalam meneguhkan iman dan pengharapan umat yang dilayaninya.
Gaya pelayanan Yesus dapat dikatakan gaya kepemimpinan blusukan. Ia sosok Gembala yang blusukan ke desa, ke kota, ke ‘tempat yang terhormat’, ke ‘tempat yang rendah’, ke darat, ke laut, ke tempat ramai, ke tempat sepi, ke pekuburan dan kemana-mana (Mat 4;23; Mat 9;35; Luk 8:1 mencatat perjalanan Yesus berkeliling wilayah Galilea ke kota-kota dan desa-desa).
Tentu saja model blusukan zaman dulu tidak serta-merta dapat diterapkan di masa kini. Juga bukan jaminan pasti bahwa semua persoalan anggota jemaat dapat diatasi. Pada sisi anggota jemaat ditemui kesulitan berupa waktu, kesediaan berkomunikasi dan lokasi. Sedangkan pada pengerja gereja ditentukan oleh karakter, kemauan, pemahaman, minat, waktu, kesempatan dan transportasi.
Namun melihat besarnya manfaat dari blusukan, maka perlu dipergumulkan untuk sungguh-sungguh dilaksanakan. Empati, simpati dan kehadiran melalui blusukan pada anggota jemaat pun sudah dirasakan sebagai suatu perhatian dan dukungan yang berarti.(*)
(Disajikan pada Seri Pembinaan Warta Jemaat GKI Sarua Indah, 17 Agustus 2014. Dikutip dengan adaptasi seperlunya dari artikel berjudul ‘Blusukan di Jemaat,’ oleh Pdt Chiko Kwit Lim, pendeta jemaat GKI Pahlawan Magelang, dimuat pertama kali di Majalah Mitra GKI edisi Juli-Desember 2013).
No comments:
Post a Comment