24 August 2014

Mirip Pdt. Albertus Patty

Percakapan di konsistori dengan pendeta yang baru saja usai melayankan ibadah hampir selalu meninggalkan kesan yang menyegarkan bagiku. Yaitu kesan dan pengakuan bahwa betapa kebhinnekaan kita Bangsa Indonesia tercermin juga dalam gereja.


Barangkali ini merupakan konsekuensi dari gereja tempat kami beribadah, yang baru memiliki satu pendeta. Akibatnya, pada sejumlah hari Minggu setiap bulannya, ibadah kami dilayani oleh pendeta dari luar, yang sebagian diantaranya baru kali itu melayani di tempat kami.

Para pendeta itu umumnya datang dari berbagai latar belakang budaya, seperti juga latar belakang anggota jemaat GKI yang aneka rupa. Dan bagiku, keterbatasan jumlah pendeta ini justru menjadi berkat terselubung. Dengan demikian dapat berkenalan dengan semakin banyak pendeta dari dalam maupun luar GKI. Latar belakang pendidikan, keluarga, dan pengalaman para pendeta itu acap kali menjadi 'khotbah' yang lekat kuat-kuat dalam batin, kendati mungkin hal itu diceritakan justru setelah turun dari mimbar.
"Wajah Bapak mengingatkan saya dengan Pdt Albertus Patty, mirip," kata Pdt Alexander Hendrik Urbinas (yang berdiri bersamaku di foto ini), ketika kami bertemu di konsistori seusai ibadah (24-8-2014) dan ia bersiap-siap melepas toganya.

Aku tertawa tetapi tidak heran. Wajah batakku ini memang sudah berkali-kali menyamarkan identitasku sehingga sering diduga sebagai orang Ambon, orang Flores bahkan orang Keling. Tetapi dimirip-miripkan dengan Pdt Albertus Patty yang merupakan salah seorang ketua Sinode GKI itu, baru kali ini. Aku mengenal Pdt Albertus Patty ketika dulu masih mahasiswa di Bandung, dan beliau menjadi vikaris di GKI Maulana Yusuf. Jadi aku bisa membayangkan seperti apa wajah Pdt Albertus yang dimirip-miripkan dengan diriku. Puji Tuhan (wajah Pdt Albertus Patty keren lho).

Ketika mendengar perbincangan itu, para anggota majelis lain membalas lagi guyonan Pdt Alexander dengan mengatakan wajah beliau juga mirip dengan salah seorang penatua kami, Pnt Tomi, namanya, yang berlatarbelakang etnis Jawa-Sunda. Sayangnya, pada kebaktian kali ini ia tidak hadir. "Persis banget Pak. Wajahnya dan brewoknya persis," kata para penatua itu sambil tertawa, seraya menawarkan bakpau yang jadi cemilan pagi itu.

Yang aku tak menyangka-nyangka ialah ternyata darah Papua mengalir pada diri Pdt Alexander. Tadinya kukira dia orang Jawa karena nada bicaranya terdengar sedikit medok. Ia bercerita bahwa ayahnya berasal dari Papua sedangkan ibunya berlatar-belakang etnik Dayak. Selepas SMA ia menempuh studi di STT Jakarta dan kini ia melayani sebagai pendeta di GKI Harapan Jaya.

Ketika kemudian dia tahu aku orang Batak, dia sedikit terkejut lantas bertanya, "Marga bapak apa?"
Jika ditanya begini, aku biasanya sedikit minder untuk menyebut Siadari, karena ini termasuk marga yang tidak elit, tidak terkenal dan udik.

"Siadari Pak," jawabku pelan.

Tapi sontak dia seperti bersemangat mendengar jawabanku. "Oh, saya tahu Siadari. Dulu teman saya mahasiswa di STT ada marga Siadari. Saya malah sering berkunjung ke rumahnya, numpang makan," kata dia, sambil menyebut sebuah nama.

Oalah....dunia ini ternyata sempit, Sohibnya yang marga Siadari itu tak asing lagi di telingaku. Lebih tepatnya, ayah dari sohibnya itu termasuk keluarga dekatku. Hampir dalam setiap acara arisan Siadari kami berjumpa. Megawati Siadari nama sohibnya itu. Anak dari Bang Basun Siadari, guru yang tinggal di kawasan Pulo Gadung.

Sungguh perjumpaan yang berkesan dengan Pdt Alexander. Selain oleh khotbahnya juga yang mengesankan, yang antara lain ia isi dengan kisah dia mendoakan orang-orang sakit ketika masih menjadi mahasiswa STT.

No comments:

Post a Comment