Kira-kira lima tahun lalu ketika bapa dan mamak berkunjung ke
Jakarta, mereka menghadiahiku Alkitab Bahasa Simalungun. Namanya, dalam
bahasa ibu kami itu, Bibel.
Itu adalah alkitab yang sangat
tebal, karena ia dipaketkan dengan Buku Doding Haleluya, yaitu buku
rohani Gereja Kristen Protestan Simalungun. Tebal Alkitabnya 483
halaman, tebal buku rohaninya, yang disebut Buku Doding Haleluya, 554
halaman. Jadi keseluruhannya 1037 halaman.
Telah lama alkitab itu
mendekam di dalam rak, sampai pada hari Rabu lalu, aku mendapat telepon
dari penatua yang menjadi majelis pengantar untuk ibadah hari Minggu
ini. Ia mengatakan bahwa tema bulan budaya pada hari Minggu ini adalah
budaya Batak. Dan Injil yang akan dibacakan pada hari Minggu ini dalam
Bahasa Simalungun. Mereka telah mencari-cari orang yang mereka anggap
dapat berBahasa Simalungun, ternyata belum ada yang bersedia membacakan
Injil tersebut.
Oleh karena itu penatua tersebut memintaku untuk bertugas membacakannya.
Aku tak menolak. Walaupun ada juga beberapa yang meragukan kemampuanku
berBahasa Simalungun, apalagi margaku --Siadari-- adalah marga yang
cukup asing (apakah kau Toba? kata seseorang, pernah menanyakanku dengan
rada tidak percaya. Lain waktu ada yang berkata, aku tak pernah
mendengar ada marga Siadari di Simalungun. ..dst).
Ketika rapat
persiapan pada hari Rabu malam itu juga, aku diminta mencoba membacakan
nats Injil dalam Bahasa Simalungun tersebut, yang sudah diketik di tata
ibadah. Aku membacakannya dan orang-orang mengatakan aku seperti
terengah-engah. Nyaliku jadi ciut. Apalagi nats itu, Markus 7:1-23, agak
panjang dan ketikannya tanpa paragraf pula.
Di rumah sepulang
dari rapat persiapan itu, aku mengeluarkan Alkitab yang diberikan bapa
dan mamak tempo hari. Sekali lagi aku mencoba membacanya. Kali ini aku
merasa lebih rileks, karena kini paragraf demi paragraf lebih jelas
batasnya.
Aku ulangi selama beberapa kali sambil
kenangan-kenangan di masa kecil muncul kembali --ketika marayat-ayat,
yaitu pada hari natal maju ke depan bersama kawan-kawan melafalkan ayat
Alkitab yang ditetapkan menjadi bagian kita.
Tadi pagi, Alkitab
hadiah bapa dan mamak itu pula yang kubawa ke depan, dan kupakai ketika
membacakan Injil. Terimakasih bapa dan mamak, tanpa Alkitab itu, entah
bagaimana aku harus membacakan Injil dalam Bahasa Simalungun.
No comments:
Post a Comment