11 August 2013

Dress Code Bulan Budaya

sebagai bagian dari kegiatan bulan budaya, tata ibadah serta dress code di gereja kami tadi pagi mengambil tema budaya jawa, sesudah minggu sebelumnya bertema budaya sumatera.


dan, selalu menyenangkan bila menyimak bagaimana umat berbusana. banyak diantara bapak-bapak batak dan toraja yang kukenal, dengan senang hati mengenakan blangkon sepanjang ibadah bahkan ketika pulang mengendarai mobil maupun sepeda motor.

justru mereka yang 'asli' orang jawa, terlihat berpakaian biasa belaka. hanya ketika tiba pada nyanyian berbahasa jawa yang memang sengaja dipilihkan pada ibadah kali ini, terdengarlah suara mereka yang menonjol dan fasih.

minggu lalu ketika temanya budaya sumatera, ruang ibadah itu dipenuhi oleh orang yang mengenakan ulos dan gotong (tutup kepala ala batak simalungun). justru banyak orang batak, termasuk saya, yang datang dengan pakaian biasa belaka. hanya ketika nyanyian tiba pada lagu Pasangap ma Tuhanta (adaptasi dari lagu Simalungun, Mariah Sibahuei tene Botou) suaraku kukencangkan sedikit, di tengah nada kikuk suara tetangga duduk yang mungkin baru pertama kali menyanyikan nada penuh legato itu.

di mimbar, pendeta tumpal tobing minggu lalu membawa khotbahnya hanya serba sedikit yang menyentuh tentang ke-batak-an. ia mengaku tidak banyak tahu tentang hal ihwal batak, bahkan membaca bibel (alkitab bahasa batak toba) ia akui tak lagi bisa lancar. memang dari nada bicaranya, ia kadang-kadang mirip seperti benyamin s, dengan logat betawi yang kental.

nada bicara 'penyangkalan diri' seperti ini juga saya tangkap dari pak pendeta emeritus totok subiayanto yang tadi pagi berkhotbah dengan mengenakan blangkon. ketika membuka khotbahnya, terlebih dulu ia mengatakan "saya sebetulnya tidak jawa banget," atau, "pengetahuan saya tentang jawa tidak terlalu dalam," semacam 'penyangkalan diri' halus sebagai orang jawa. toh dalam khotbahnya, beberapa kali ia selipkan juga beberapa kata-kata dari khasanah jawa.

yang ingin kukatakan dari fenomena orang-orang batak berblangkon dan orang-orang jawa mengenakan ulos di gereja kami ini sebetulnya sederhana dan semoga ada gunanya.

aku kira ini adalah sebentuk 'penyangkalan diri' juga yang diajarkan oleh yesus, penyangkalan diri yang positif. sejak resmi menjadi warga gki 15 tahun lalu, salah satu kesan yang konsisten kutangkap ialah adanya upaya yang secara terus-menerus ditanamkan, bahwa kita ini adalah batak, kita ini jawa, kita ini toraja, kita ini tionghoa, tetapi diatas semua itu kita ini adalah kristen dan kita ini adalah indonesia.

ketika kita 'menyangkal' diri sebagai orang batak dengan mengenakan blangkon, misalnya, atau kita yang orang bali mengenakan gotong atau bulang, bukan berarti kita bukan batak, bukan bali, apalagi meninggalkan dan malu sebagai orang batak atau orang bali. dengan itu, dengan 'penyangkalan diri' semacam itu, kita justru ingin mengatakan bahwa dengan menjadi batak saja tidak cukup, dengan menjadi jawa saja tidak cukup, sebab tanpa jawa, tanpa tionghoa, tanpa toraja, aku tak berarti apa-apa, apalagi tanpa kekristenan, apalagi tanpa indonesia.

aku membayangkan semestinya semangat penyangkalan diri semacam ini pula yang harus terbawa ke ruang publik yang lebih luas ketika kita berinteraksi dengan kawan-kawan beragama lain dalam rumah yang bernama indonesia. dengan menyatakan minal aidin walfaizin, dengan menyatakan assalamwalaikum, dengan menyampaikan selamat idul fitri, tidak berarti kita meninggalkan agama kita, merendahkan agama kita. ini justru merupakan 'penyangkalan diri' yang jua diajarkan yesus, bahwa tanpa sesamaku --apa pun agamanya-- hidupku tak akan berjalan, tak akan sempurna. (dan semoga di kalangan kawan-kawanku muslim kesadaran semacam ini juga ada).

minggu depan, bulan budaya di gereja kami akan mengambil tema budaya sulawesi. aku masih bingung membayangkan seperti apa kira-kira busana yang akan dipakai. seandainya ada yang mau meminjamkan pakaian daerah itu (toraja, minahasa, dll) aku mungkin akan memakainya.

No comments:

Post a Comment