di jabodetabek memang semakin sulit menemukan gereja yang memiliki lonceng seperti yang ada di kampung halaman, yakni lonceng (atau giring-giring) seberat beberapa kwintal digantung tinggi di menara gereja. sebagai alternatifnya adalah lonceng gereja mini dan mobile. ia digantung di sebuah kerangka berbentuk segitiga, yang tingginya sejangkauan tangan. tak perlu ada tali kekang untuk membunyikan lonceng. cukup dengan memukulkan bandul ke dinding lonceng, berbunyilah dia.
tadi pagi aku begitu excited untuk memulai tugas itu. sebelumnya aku sudah dibimbing oleh para senior apa yang harus kulakukan: menabuhnya lima kali sebelum doa persiapan di konsistori, dan tiga kali ketika ibadah akan dimulai, sebelum aku membacakan warta.
teringat lagi kepada masa-masa puluhan tahun lalu, ketika kami anak-anak sarimatondang duduk di sekolah minggu. ketika kami begitu takjub dan begitu inginnya diberi tugas sebagai pembunyi lonceng gereja. sebab, lonceng itu demikian sakralnya, tak setiap orang boleh membunyikannya dan tidak sembarang pula waktu untuk memperdengarkannya. walaupun tali kekangnya dibiarkan menjuntai hingga semua orang sebetulnya bisa meraihnya, tetapi kami anak-anak seakan sudah punya naluri untuk merasa tak berhak menyentuhnya bila bukan waktunya.
tadi pagi aku tiba cukup awal. karena itu aku masih punya waktu untuk berfoto bersama lonceng gereja kami. pertama-tama, aku berfoto di depan lonceng. tapi kolega senior, pnt rante bori batti yang kuminta untuk menjepretkan ponselku, mengatakan, "sebaiknya pak eben di belakang loncengnya, sehingga loncengnya yg kelihatan besar."
batinku segera berkata, ya betul. aku harus makin kecil. dan sebaliknya, biarlah dia yang menganugerahkan pekerjaan-pekerjaan ini, semakin besar.
selamat hari minggu.
No comments:
Post a Comment