18 February 2014

Pulang dari Rumah Duka

tadi malam kami mendapat kabar bahwa suami dari simpatisan gereja kami meninggal. ibu yang ditinggalkan itu aktif menjadi anggota paduan suara. walaupun keluarga berlatarbelakang tradisi batak ini masih terdaftar di gereja lama yang letaknya jauh di jakarta, si ibu merupakan pengunjung tetap beribadah di gereja kami. dari foto-foto yang bergantung di ruang tamu, aku melihat putra-putri yang ditinggalkan sang bapak sudah besar-besar, satu diantaranya sudah menikah dan memberi cucu.


rombongan kami sepakat untuk melakukan ibadah penghiburan pada malam itu juga. cukup ramai kami yang hadir. dan apakah hanya aku saja yang begitu, entahlah, bahwa terasa sekali khotbah-khotbah sewaktu oenghiburan selalu lebih meresap dan mengena. mungkin karena kita ikut merasakan keputus-asaan dan kebingungan, seperti yang dirasakan keluarga yang lagi berduka, sehingga seakan kita tidak punya pilihan selain mendengar dan memaknai kalimat-kalimat khotbah yang disampaikan.


ibu pendeta tadi malam (tanpa pengeras suara karena tampaknya belum terpasang) mengutip nats dari kitab yohannes yang antara lain berbunyi, "Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu."

dan segera terasa keheningan di ruangan itu. kontras dengan beberapa menit sebelumnya, ketika satu-dua kerabat masih menangis dan 'mangandung' dengan histeris, berteriak, meronta, menghentak, dengan kata-kata yang diucapkan kepada jenazah yang seakan-akan masih diharapkan dapat mendengar, "tega nian kau pergi, tega nian kau pergi, kenapa begitu cepat, kenapa begitu cepat?"

lalu kami menyanyikan NKB no 172, yang intronya mengingatkanku pada lagu ciptaan is harianto yang pernah dipopulerkan teti kadi (tanpamu hidupku hampa),  “dalam rumah bapaku banyak tempatnya,
terdengar suara Yesus yang merdu."


ibadah penghiburan itu berlangsung tak sampai 40 menit. yang lebih banyak memakan waktu ialah antrian kami menjabat tangan ibu yang berduka dan keluarga yang ditinggalkan almarhum suaminya.

di dalam mobil ketika pulang, beberapa orang anggota jemaat yang bukan orang batak bertanya kepadaku, apakah menangis dengan histeris itu merupakan bagian dari tradisi batak? aku menjawab, sejak aku kecil hal itu sudah kusaksikan. dan memang ada banyak cara melampiaskan kesedihan oleh orang batak. namun aku yakini, kataku, biasanya mereka yang 'mangandung' lebih cepat terobati kesedihannya daripada mereka yang tidak bisa 'mangandung.'

lalu ada yang nyeletuk, "tapi apakah semua yang 'mangandung' itu serius dengan 'andung-andung'-nya?"
wah, kalau itu aku tak tahu, kataku, lalu pecahlah tawa kami.

No comments:

Post a Comment