Sungguh menarik, bahwa peristiwa Paska justru terjadi pada waktu subuh. Pada waktu terang sudah menjadi kepastian, namun kegelapan pada kenyataannya masih menjadi pengalaman.
Peristiwa Paska memang menghadirkan terang (kehidupan). Maut sudah dikalahkan! Subuh itu pasti akan menjadi terang! Namun pada lain sisi, toh kenyataannya, kuasa kegelapan (kematian) masih dirasakan.
Bukankah itu pengalaman hidup keseharian kita? Dalam terang Paska, kita boleh memastikan bahwa maut sudah dikalahkan, namun kenyataan hidup ternyata masih memperhadapkan kita dengan kuasa kematian.
Berada di dalam batas antara gelap dan terang, maka selalu ada dua kemungkinan respon iman:
Selalu ada orang yang mampu melihat kepastian terang itu, meskipun masih samar-samar. Dalam narasi Yohanes, mereka itu diwakili oleh ‘murid yang lain’, yang menurut tradisi iman adalah Yohanes sendiri. Yohanes mencatat bahwa ‘murid yang lain’ itu percaya! (Yoh. 20:8). Apa yang Yesus pernah ungkapkan pada waktu yang lalu, mulai dipahami. Samar-samar, iman Paska mulai mendapatkan tempatnya. (Yoh. 20:9).
Namun, selalu saja ada orang yang masih bergumul dengan kepastian terang itu. Pandangan mereka masih tertuju pada kegelapan (kematian). Bagi mereka kubur kosong bukanlah simbol kemenangan atas maut, tetapi justru penegasan atas kegelapan itu sendiri. Dalam narasi Yohanes, orang-orang ini diwakili oleh Maria Magdalena. Betapa gelap dan sedihnya hati Maria. Ia berdiri dekat kubur dan menangis!
Tetapi Maria tidak menyerah pada realita bahwa kegelapan masih dirasakannya. Ia bergumul untuk pada akhirnya bisa mendapatkan terang yang mengusir kegelapan di hatinya. Ia melongok ke kubur, Ia bertanya sampai akhirnya ia mendengar sebuah panggilan penuh cinta: Maria! Panggilan yang membawanya untuk berpaling pada sang Terang itu sendiri. Yesus sudah bangkit! Ia mengenali-Nya. “Rabuni!” demikian kata Maria.
Buat Maria, panggilan itu cukup untuk membawanya berpaling kepada kehidupan.. Ia tidak membutuhkan bukti lain. Dari sisi pastoral, peristiwa perjumpaan Maria dengan Yesus ini mengajarkan kepada kita, bahwa kadang yang dibutuhkan seseorang di tengah pergumulannya bukanlah ajaran dan dogma gerejawi (yang kadang malahan cenderung menghakimi). Yang dibutuhkan oleh orang-orang seperti Maria ini adalah kehadiran dan kasih Illahi.
(Disajikan pada Seri Pembinaan Warta Jemaat GKI Sarua Indah, 5 April 2015. Dipetik dan diringkas dari esai Pdt Rudianto Djajakartika berjudul Berpaling Kepada Kehidupan , versi panjangnya dapat dilihat di http://gkipi.org/berpaling-kepada-kehidupan-2/)
No comments:
Post a Comment