Bersembilan kami sore itu berjalan kaki dari sebuah pojok desa
Sukamelang di Subang. Kami baru saja menyuntik ayam dan bebek penduduk.
Salah satu dari anggota kelompok kami yang turut dalam Kuliah Kerja
Nyata (KKN) itu, berasal dari Fakultas Peternakan. Maka jadilah kami
dimintanya turut membantu. Kami pun ikut menangkapi dan memegangi ayam
dan bebek untuk disuntik.
Beberapa puluh meter lagi menjelang
rumah Pak Lurah tempat kami para mahasiswa UNPAD diinapkan, dari
kejauhan aku melihat ada mobil kijang terparkir di halaman. Kami
bersembilan mulai berspekulasi, siapa lagi tamu yang datang ini. Pasti
salah satu keluarga kami yang KKN ini. Ada rasa gembira. Biasanya
keluarga-keluarga itu pasti bawa oleh-oleh. Berarti lauk-pauk kami pasti
akan lebih enak malam ini.
Makin dekat ke rumah, makin banyak
dugaan-dugaan kami tentang siapa yang datang. Ada yang membayangkan itu
pasti keluarga Tatang, mahasiswa asal Bandung yang jika ayah, ibu dan
adik-adiknya berkunjung, pasti mengusung segerobak bingkisan berisi
colenak dan ayam goreng. Ada juga yang menduga, itu keluarga Titin dari
Sumedang. Mungkin mereka akan bawa tahu, peyeum dan empal yang
lebar-lebar setelapak tangan.
Tetapi makin dekat kami ke rumah
Pak Lurah, makin jelas bahwa yang datang itu kelihatannya jauh dari
tebakan kami semua. Kijang yang terparkir itu makin terlihat bututnya.
Sebagian catnya sudah mengelupas. Bempernya juga seperti terluka
dimana-mana. Dan, yang pasti, disamping mobil itu kini berdiri dua orang
pria. Yang satu pendek, yang satu berukuran sedang. Tak salah lagi. Itu
bapak dan pamanku.
Aku tak kuasa lagi untuk tidak gemetar, berlari mendekat dan berteriak tertahan. "Bapaaa..........Tulang........"
Ya, yang di sana itu, yang bertamu ke rumah Pak Lurah itu, ternyata
ayah dan pamanku. Mereka baru saja melangsungkan Muktamar (Sinode Bolon)
Gereja Kristen Protestan (GKPS) di Bogor. Ayahku menjadi utusan dari
gereja kami di kampung. Pamanku yang pendeta juga turut. Dan tampaknya
mereka berpikir, tak elok bila mereka mengunjungi pulau Jawa, tapi tak
menyempatkan menjengukku.
Mula-mula mereka datang ke Bandung,
melongok ke asrama. Tapi karena teman-teman memberitahua bahwa aku
sedang KKN di Sumedang, mereka tak kehabisan akal. Mereka sewa sebuah
Kijang carteran, dan sampai juga mereka ke Sukamelang, desa kecil
seukuran Sarimatondang, setelah bertanya kesana-kemari dengan bantuan
Pak Supir.
Sore itu, terus terang, terjadi sedikit kegemparan
pada kami, para mahasiswa yang tinggal di rumah Pak Lurah itu. Pertama,
mereka gempar, karena kaget. Mereka sama sekali tak terpikir bahwa ada
orang Batak yang diberi julukan 'Tulang.' Mereka terpingkal-pingkal
terus setiap kali aku menyapa pamanku dengan 'Tulang.' Merah juga kuping
sebentar, pamanku disamakan dengan cemilan gukguk. Tapi apa daya,
memang itulah Bahasa Batak.
Kedua, sore itu lebih gempar lagi
karena inilah kunjungan keluarga terjauh yang pernah datang ke rumah Pak
Lurah. Dari Bandung, dari Sumedang, dari Jakarta, dari Yogya, memang
sudah ada yang datang. Tapi dari Sumatera Utara, tak pernah ada yang
terpikir, dan kini kenyataan. Banyak duit rupanya keluarga si Eben ini,
ada yang berkata begitu.
"Apa kerja ayah dan pamanmu itu?" tanya istri Pak Lurah.
"Berapa ratus hektar tanah kalian di Sumatera?" tanya Pak Lurah.
"Ternyata kamu selama ini merendah ya, sampai beli sendal pun harus minjem," kata Dewi, yang mahasiswi Psikologi.
Aku hanya bisa tersenyum. Kalau hanya karena kedatangan ayah dan paman
ini mereka menyangkaku orang berpunya, itu kuanggap berkah. Aku sendiri
masih belum dapat menghilangkan rasa terkejut bagaimana mungkin ayah dan
pamanku sampai ke Sukamelang. Yang aku tahu adalah, sore itu ayah dan
paman cukup percaya diri membagi-bagikan oleh-oleh berupa
kerupuk-kerupuk kecil dan roti tawar yang mungkin mereka beli di
pedagang kaki lima sepanjang jalan. Teman-temanku tertawa penuh arti
menerima oleh-oleh itu.
Sekarang, setiap ingat desa Sukamelang
itu, aku teringat lagi keajaiban kecil itu. Paman yang menjengukku ke
Sukamelang itu kini sudah bermukim di haribaan Bapa di Surga. Tapi
keajaiban di Sukamelang itu tak pernah terlupa.
No comments:
Post a Comment