26 February 2014

Duka Pendeta dan Penatua


Tak terbendung lagi tangis ibu itu ketika melihat koper yang dibawanya sudah rusak dan tak berbentuk. Kedatangannya ke kota T di Tapanuli ini ialah untuk bersinode. Ia penatua di gereja dan menjadi salah satu utusan.


Ketika ia dan rombongannya turun dari kendaraan carteran yang mereka tumpangi, satu per satu koper diturunkan. Lalu sambil menunggu arahan selanjutnya, mereka duduk-duduk di pelataran gedung yang akan menjadi tempat pertemuan.

Ibu penatua kita meletakkan koper di pinggir jalan di depan lobi gedung. Tapi tak dinyana, sebuah sedan yang baru saja berhenti sesudah mobil carteran mereka yang kini sudah pergi, seolah-olah bergerak sendiri. Bapak yang ada di dalamnya seolah tak sadar bahwa mobil yang disupirinya telah bergerak dan menggilas koper ibu penatua.

Setelah beberapa menit, barulah si bapak tersadar telah terjadi kecelakaan kecil. Si bapak turun dan berbicara kepada si empunya koper. Si bapak ternyata adalah pendeta yang juga akan turut bersinode. Tetapi apa boleh buat, insiden telah terjadi dan bagaimanapun harus dicari jalan keluarnya.

Bapak pendeta itu meminta maaf dan mengatakan ia baru beberapa bulan memiliki mobil bertransmisi otomatis itu. Inilah yang menyebabkan ia belum fasih mengendalikannya yang menyebabkan terjadi kecelakaan koper.

Sebagai simbol persaudaraan dalam kasih, Pak Pendeta merogoh koceknya dan memberikan sejumlah uang kepada ibu penatua, yang kopernya sudah benjol tidak karuan.

Melihat jumlah uang itu, pecahlah tangis si ibu lebih kencang. Ia membandingkan jumlah uang itu yang ia taksir hanya sepersepuluh dari harga koper.

"Matilah aku. Koper ini sebetulnya bukan koperku, itu koper si Anu teman sekampung, yang kupinjam karena mau mengikuti sinode ini. Koper itu baru beberapa minggu dia beli. Dan habislah aku tak akan pernah lagi dipinjaminya apa pun kalau aku tak menggantinya," kata ibu penatua tersedu-sedu.

Cerita ini aku dengar dari seorang penatua yang menceritakannya kembali kepadaku. Beberapa rincian cerita ini mungkin tidak persis seperti aslinya. Aku tersenyum kecut ketika pertama kali mendengar cerita ini. Sedih sekali membayangkan kejadian ini. Namun aku percaya, baik pendeta maupun ibu sintua itu, kini mungkin sudah sama-sama bisa menertawakan kejadian ini. Sebagai puspawarna melayani yang tak terduga.

No comments:

Post a Comment