Sebagai kelanjutan dari persidangan ini, besok subuh aku akan berangkat
ke Magelang. Aku turut bergabung sebagai satu dari 10 utusan Klasis
Jakarta II ke Persidangan Majelis Sinode Wilayah GKI Jateng yang akan
berlangsung di kota 'Akabri' itu. Persidangan berlangsung hingga 12
September nanti.
Limabelas tahun lalu, aku termasuk yang paling getol mendorong agar generasi muda lebih serius melibatkan diri dalam mendorong pertumbuhan gereja-gereja suku, khususnya gereja GKPS, tempatku bertumbuh di masa kecil.
Limabelas tahun lalu, aku hanya bisa membayangkan gereja-gereja suku itulah benteng terakhir dari kepunahan bahasa-bahasa suku, seperti Bahasa Simalungun yang kian tergerus oleh modernisasi.
Sekarang keadaan sudah berubah.
Era reformasi yang mendorong otonomi daerah secara perlahan telah menggeser pusat gravitasi pembangunan ke daerah-daerah. Otonomi telah melahirkan kegairahan baru, termasuk dalam menumbuhkan kecintaan pada daerah, suku dan bahasa suku. Pada gilirannya, gereja-gereja suku tampaknya ikut mendapat berkat dari kemajuan ini. Puji syukur kepada Tuhan, gereja-gereja suku kini semakin maju dan semakin dicintai.
Yang justru kerap mengkhawatirkan dewasa ini ialah perihal siapa yang akan merawat ke-Indonesiaan kita. Otonomi khusus seperti yang dinikmati Aceh dan Papua, lengkap dengan Perda maupun Perdasusnya yang kerap terasa absurd, bisa jadi suatu saat nanti menjadi model yang umum dan gencar disuarakan daerah. Indonesia bisa jadi akan merupakan sekumpulan negara-negara kecil yang riuh rendah dengan aturan masing-masing.
Barangkali kita bisa menghibur diri dengan mengatakan, tidak perlu khawatir selama kita masih punya TNI, Polri dan Bank Indonesia dan nama-nama institusi lain yang menyandang nama Indonesia. Tetapi apakah institusi-institusi itu cukup untuk merawat ke-Indonesiaan kita yang terus mencari bentuk itu?
Kepada anak dan istriku, satu hal yang selalu kutekankan sebagai alasan kenapa kami memilih menjadi jemaat GKI ialah karena kami sebagai keluarga gado-gado, bertanggung-jawab merawat masa depan Indonesia. Dan salah satu caranya adalah dengan menjadi bagian dari GKI, yang sejak awal kemerdekaan secara sadar memilih setia kepada NKRI untuk menjadi kawan sekerja Tuhan di bumi Nusantara ini.
Mungkin motif ini terlalu sekuler atau kurang rohani ya?
Limabelas tahun lalu, aku termasuk yang paling getol mendorong agar generasi muda lebih serius melibatkan diri dalam mendorong pertumbuhan gereja-gereja suku, khususnya gereja GKPS, tempatku bertumbuh di masa kecil.
Limabelas tahun lalu, aku hanya bisa membayangkan gereja-gereja suku itulah benteng terakhir dari kepunahan bahasa-bahasa suku, seperti Bahasa Simalungun yang kian tergerus oleh modernisasi.
Sekarang keadaan sudah berubah.
Era reformasi yang mendorong otonomi daerah secara perlahan telah menggeser pusat gravitasi pembangunan ke daerah-daerah. Otonomi telah melahirkan kegairahan baru, termasuk dalam menumbuhkan kecintaan pada daerah, suku dan bahasa suku. Pada gilirannya, gereja-gereja suku tampaknya ikut mendapat berkat dari kemajuan ini. Puji syukur kepada Tuhan, gereja-gereja suku kini semakin maju dan semakin dicintai.
Yang justru kerap mengkhawatirkan dewasa ini ialah perihal siapa yang akan merawat ke-Indonesiaan kita. Otonomi khusus seperti yang dinikmati Aceh dan Papua, lengkap dengan Perda maupun Perdasusnya yang kerap terasa absurd, bisa jadi suatu saat nanti menjadi model yang umum dan gencar disuarakan daerah. Indonesia bisa jadi akan merupakan sekumpulan negara-negara kecil yang riuh rendah dengan aturan masing-masing.
Barangkali kita bisa menghibur diri dengan mengatakan, tidak perlu khawatir selama kita masih punya TNI, Polri dan Bank Indonesia dan nama-nama institusi lain yang menyandang nama Indonesia. Tetapi apakah institusi-institusi itu cukup untuk merawat ke-Indonesiaan kita yang terus mencari bentuk itu?
Kepada anak dan istriku, satu hal yang selalu kutekankan sebagai alasan kenapa kami memilih menjadi jemaat GKI ialah karena kami sebagai keluarga gado-gado, bertanggung-jawab merawat masa depan Indonesia. Dan salah satu caranya adalah dengan menjadi bagian dari GKI, yang sejak awal kemerdekaan secara sadar memilih setia kepada NKRI untuk menjadi kawan sekerja Tuhan di bumi Nusantara ini.
Mungkin motif ini terlalu sekuler atau kurang rohani ya?
No comments:
Post a Comment