Adakah Seni Mendekatkanmu kepada Tuhan?
Ketika berhadapan dengan penggunaan seni dalam pelayanan kaum muda, ada dua sikap yang sangat mungkin diambil gereja. Pertama, mengakomodasi budaya tersebut. Kedua, menciptakan ‘bunker,’ untuk melindungi jemaat dari apa yang mereka percaya sebagai pengaruh buruk.
Sikap mengakomodasi berarti tanpa sikap kritis dan tanpa menganalisisnya dengan baik. Ketika seni dipakai tanpa adanya pemahaman akan muatan nilai didalamnya, yang tercipta hanyalah kenikmatan dan rasa nyaman. Musik memang bisa memuat makna yang lebih dari kata-kata tapi musik juga bisa membuat pendengarnya hanya berhenti pada rasa nikmat dan senang. Seni justru menjadi tembok yang berdiri di antara mereka dan Tuhan, tidak menolong mereka untuk mengalami Tuhan dengan baik, tapi jatuh kepada pleasure atau kesenangan diri.
Di sisi lain, pelayanan kaum muda sering berubah seperti sebuah bunker. Gereja seringkali membelenggu ekspresi seni kaum muda sehingga seni tidak lagi menjadi ekspresi otentik dari zamannya.
Selain kedua sikap ini, ada pilihan yang ketiga dan yang dianggap paling sulit yaitu melakukan transformasi, dan seharusnya inilah sikap gereja. Pelayanan kaum muda justru harus keluar dari bunker mereka, terlibat langsung di tengah kehidupan kaum muda dengan segala budaya dan membawa pembaruan. Dalam keterlibatan dengan penggunaan seni, kaum muda seharusnya tidak dikekang ekspresinya dalam bermusik, bertutur, melukis, menulis, tapi mereka didampingi untuk menemukan makna yang terasosiasi dari bentuk seni itu.
Pelayanan kaum muda harus mengelola penggunaan musik, gambar, kata dan lainnya untuk bentuk-bentuk yang dapat membawa kaum muda bukan hanya pada rasa senang, tetapi kekaguman kepada Tuhan, keindahan yang membuatnya bersyukur, dan rasa takluk kepada Tuhan.
(Disajikan dalam Seri Pembinaan Warta GKI Sarua Indah, 28 September 2014. Dikutip dari “Seni dan Pelayanan Kaum Muda,” oleh Astri Sinaga M.Th, dalam Jurnal Youth Ministry, Vol 1 No 1 Mei 2013).
No comments:
Post a Comment