Aku sering membayangkan bahwa pekerja-pekerja yang menjalankan tugas-tugas gerejawi itu semakin hari harus semakin siap dan terbiasa melihat punggung Yesus. Atau lebih tepatnya, melihat Yesus dari balik punggung-Nya.
Dulu ketika aku tak terlibat dalam tugas-tugas gerejawi itu, aku selalu membayangkan datang ke gereja dari pintu depan, dan melangkah menuju Yesus yang telah menunggu di tempat-Nya, dan aku datang di hadapanNya. Berjumpa dengan-Nya.
Walau ada rasa takut, tapi jelaslah, aku membayangkan Dia menghadapkan wajahNya kepadaku. Aku disambut-Nya. Perjumpaan yang mesra. Semuanya demikian rapi. Semuanya sudah pada tempatnya. Aku hanya datang dengan menyiapkan hati.
Sebaliknya dengan petugas-petugas itu. Kini ketika misalnya aku mendapat giliran bertugas, yang harus kubayangkan adalah bukan hanya bagaimana agar aku berjumpa dengan Dia, tetapi lebih dari itu. Bagaimana agar ibadah itui menjadi perjumpaan yang indah antara Dia dan seluruh jemaat. Dan pada saat demikian, harus rela menerima untuk hanya melihat punggung Yesus, yang terutama adalah membantu jemaat untuk dapat berjumpa Dia muka dengan muka.
Di belakang punggung Yesus, acap kali banyak hal yang masih perlu dicermati. Hari-hari menjelang ibadah itu, seringkali muncul hal-hal tak terduga dan plan B yang lebih dapat dijalankan ketimbang plan A. Petugas yang sudah dijadwalkan, tetapi tiba-tiba berhalangan. Pengeras suara yang perlu dicek ulang berkali-kali. Piranti ibadah seperti kantong kolekte, buku nyanyian, dan lain-lainnya, adalah hal-hal yang harus terus diperhatikan dari balik punggung Yesus.
Salah satu cerita Alkitab yang mengesankanku adalah tentang empat orang sahabat yang terpaksa memanjat atap rumah dan membongkarnya, demi untuk bisa menggotong dan kemudian menurunkan seorang kawan mereka yang sakit lewat langit-langit rumah. Dengan begitu, mereka dapat membawa kawan mereka berada di hadapan Yesus, yang sudah dikerumuni lautan manusia. Itu satu-satunya jalan karena pintu masuk ke rumah itu tertutup dengan orang.
Aku membayangkan, empat sekawan itu mungkin sebetulnya ingin juga seperti orang-orang yang banyak itu. Datang mendengar khotbah Yesus. Berjumpa dan melihat Dia dari dekat. Atau jika di zaman sekarang, mengambil satu-dua foto selfie. Tetapi mereka mengesampingkan itu karena sahabatnya yang sedang sakit, lebih membutuhkan perjumpaan dengan Dia.
Pada malam menjelang pergantian tahun kemarin (31-12-2014), aku bertugas mendampingi pendeta melayankan perjamuan kudus di gereja kami. Dan makin kuhayati lagi bagaimana tugas-tugas gerejawi itu dijalani seperti melihat punggung Dia. Seperti biasa, akhir tahun selalu diwarnai oleh banyak anggota jemaat yang sudah pergi berlibur atau pulang ke kampung halaman. Demikian juga dengan para petugas. Pada hari-hari seperti itu, jumlahnya terbatas.
Dan dalam serba keterbatasan itu, satu hal yang kami selalu mohonkan ialah kiranya Dia tetap hadir. Atau lebih tepatnya, semua yang hadir di sana merasakan kehadiran-Nya. Bertemu muka dengan muka. Menghadapkan wajah-Nya.
Refleksi yang terlambat. Tetapi muda-mudahan berguna.
No comments:
Post a Comment