Aku selalu ingat tentang nasihat seorang pendeta yang berkata bahwa
mengkhotbahkan pengampunan itu berat, bahkan sangat berat. Sebab,
khotbah tentang pengampunan tidak hanya tentang apa yang kita katakan.
Ia juga tentang apa yang kita hidupi hari lepas hari.
Tadi pagi,
bersama-sama dengan kawan-kawan pengerja dan remaja dari GKI Sarua
Indah, aku ikut melayani di ibadah remaja GKI Bintaro Pongtiku. Tema
khotbah yang kubawakan adalah Merciful God (Tuhan Maha Pengampun) dengan
bacaan Mazmur 103:1-13. Isinya tentang kesaksian Raja Daud akan kebaikan
dan pengampunan Tuhan.
Berminggu-minggu tema dan nats ini aku
pergumulkan, yakni sejak bulan lalu, ketika jadwal pelayanan diumumkan
dan aku ditetapkan melayani remaja pada hari ini. Dan semakin mendekati
harinya, semakin aku tak merasa siap. Tetapi siapa diantara orang yang
bernafas di muka bumi ini, dapat menunda waktu sepersepuluh menit saja?
Tidak ada. Dan waktunya tiba juga.
Tadi pagi aku memulai khotbah
dengan memperkenalkan Rabindranath Tagore, pemenang nobel sastra dari
India, seorang pemikir yang sangat berpengaruh, dan metode pendidikannya
(dan sekolahnya) sangat termasyhur. Aku memperkenalkannya lewat
ucapannya pada tahun 1930 di Jenewa, ketika ia melayani sebuah
wawancara. Dan ia berkata, “Saya tak pernah bisa mencintai Tuhan dari
Perjanjian Lama.”
Di mata Tagore, Tuhan PL adalah Tuhan yang
cemburu, yang mengajarkan perang, yang suka mengancam, mengutuk bahkan
menganjurkan membasmi musuh. Dan itu sebabnya ia tidak bisa mencintai
Tuhan yang demikian. Ia lebih terpesona pada Tuhan dari Perjanjian Baru.
Apa yang diamati oleh Tagore ternyata kontras dengan apa yang
disaksikan Raja Daud melalui Mazmur yang ditulisnya. Tidak. Tuhan
Perjanjian Lama tidak sekejam yang dibayangkan Tagore bahkan tidak kejam
samsekali. Tuhan menurut Daud adalah yang pengampun yang tak terbatas,
seperti ibu mengasuh anaknya yang di dalam kandungan (raham).
Kesabarannya panjang, ia tidak membalas setimpal dengan hal tidak
senonoh yang kita kerjakan. Dan, itu sudah sejak dulu, sejak Perjanjian
Lama, sejak dunia ini Ia ciptakan.
Dan Daud dapat tiba pada
kesimpulan itu karena --tidak seperti Tagore yang mengenali Tuhan lewat
filsafat, ajaran, dogma -- ia mengenali Tuhannya. Bergaul rapat. Dan
mengalami kebaikan dan pengampunan Tuhan. Sejak ia masih remaja ketika
diurapi. Ketika ia lolos dari sergapan maut pasukan Raja Saul. Ketika ia
merancang kejahatan demi mendapatkan Betsyeba, istri salah seorang
panglimanya. Juga ketika ia menderita, terusir dari Istana karena ulah
anak kesayangannya, Absyalom.
Dan dalam lautan gembira dan
samudera dukacita, tak sekejappun Daud merasa lepas dari penyertaan
Tuhan. Ia tidak pernah lari dari Tuhan, baik ketika ia senang pun dalam
susah. Ketika ia jadi orang baik-baik, pun dalam kebengalannya.
Itu juga berita pengampunan yang aku kabarkan kepada anak-anak remaja
itu. Dalam kemudaanmu, dalam kegalauanmu, dalam konflikmu, dalam
ketersisihanmu (dari orang-orang yang lebih tua yang sering sok tahu)
pengampunan Tuhan tidak pernah terbatas. Jangan itu menghalangimu datang
kepadaNya. Jangan biarkan ketakutan memisahkanmu dari Tuhan. Jangan
biarkan gereja kita kosong hanya karena engkau salah mengerti,
seolah-olah gereja hanya tempat bagi orang-orang suci bersih.
Tadi aku mengajak Oma Wilma untuk memberi kesaksian. Oma yang kini
berusia 80 tahun itu berkisah tentang bagaimana ia semasih remaja
dididik oleh orang tuanya untuk selalu jujur. Secara berkala ibunya
membekalinya Rp 10 untuk belanja di pasar. Dan suatu hari, ia mencoba
melawan amanat ibunya. Yang seharusnya ia belanja Rp 10, kini ia potong
belanja Rp 8, dan sisanya ia kantongi. Sempat beberapa kali begitu
sampai akhirnya ia merasa tidak kuat lagi. Ia akhirnya berdoa kepada
Tuhan, mengaku salah. Dan ketika ia membicarakannya secara terbuka
dengan ibunya, ia merasa lega. Ia merasakan pengampunan yang besar. Dan
sampai sekarang, ia masih dapat membayangkan kelegaan yang ia dapatkan
di masa remajanya itu.
Ada sekitar 30 orang anak remaja yang
hadir pada ibadah itu. Dan, yang sangat menyenangkanku ialah sikap
spontanitas mereka ketika diminta berbicara. Ketika satu-dua diantara
mereka aku minta bercerita tentang bagaimana mereka membayangkan kasih
dan pengampunan Tuhan, sebagian besar membayangkan ayah dan ibu mereka.
Dan tidak seperti pendapat umum yang berkembang, yang mengatakan bahwa
anak-anak remaja ini datang ke gereja karena disuruh orang tuanya dan
bukan karena kemauan mereka sendiri , aku menyaksikan sendiri pendapat
itu salah. Aku menyaksikan bagaimana mereka dapat tertawa lepas ketika
melihat gambar yang lucu, tetapi juga dengan mata berkaca-kaca ketika
mendengar kisah yang mengharukan. Dan terimakasih untuk tidak menyentuh
gadget mereka sedetik pun, walaupun tidak ada larangan untuk itu.
Di akhir khotbahku, aku meminta kami menyanyikan salah satu dari lagu
Kidung Jemaat, "Tuhanku bila Hati Kawanku." Aku selalu terharu apabila
menyanyikan lagu ini, terutama terkenang pada adik dan dua sahabat
remajaku (Eva, Monang dan Harjon) yang dipanggil Tuhan tanpa pernah aku
melihat wajah mereka untuk terakhir kali. Dan diantara anak-anak remaja
itu, aku melihat tidak sedikit yang memejamkan mata. Semoga mereka
sedang menghayati lagu ini, dan dapat kupastikan bukan karena mengantuk.
Seusai ibadah, seperti biasanya pada pertukaran pelayanan, kami
menyempatkan duduk bersama kembali. Dan betapa aku dapat merasakan,
keceriaan anak-anak remaja ini bertemu dengan teman-teman baru mereka
dari gereja lain. Mereka saling bertanya jawab, bertukar cerita tentang
pengalaman melayani di gereja masing-masing. Aku berterimakasih kepada
Tuhan karena Amartya, putriku itu, yang juga turut dalam rombongan kami,
ikut lebur dan mengalami kenyataan ini, sebuah episode yang hilang dari
kehidupan ayahnya di masa remaja dulu.
Semoga remaja di seluruh dunia mengalami keceriaan seperti yang kami alami pagi tadi.
No comments:
Post a Comment