19 April 2015

The Merciful God

Aku selalu ingat tentang nasihat seorang pendeta yang berkata bahwa mengkhotbahkan pengampunan itu berat, bahkan sangat berat. Sebab, khotbah tentang pengampunan tidak hanya tentang apa yang kita  katakan. Ia juga tentang apa yang kita hidupi hari lepas hari.


Tadi pagi, bersama-sama dengan kawan-kawan pengerja dan remaja dari GKI Sarua Indah, aku ikut melayani di ibadah remaja GKI Bintaro Pongtiku. Tema khotbah yang kubawakan adalah Merciful God (Tuhan Maha Pengampun) dengan bacaan Mazmur 103:1-13. Isinya tentang kesaksian Raja Daud akan kebaikan dan pengampunan Tuhan.

Berminggu-minggu tema dan nats ini aku pergumulkan, yakni sejak bulan lalu, ketika jadwal pelayanan diumumkan dan aku ditetapkan melayani remaja pada hari ini. Dan semakin mendekati harinya, semakin aku tak merasa siap. Tetapi siapa diantara orang yang bernafas di muka bumi ini, dapat menunda waktu sepersepuluh menit saja? Tidak ada. Dan waktunya tiba juga.

Tadi pagi aku memulai khotbah dengan memperkenalkan Rabindranath Tagore, pemenang nobel sastra dari India, seorang pemikir yang sangat berpengaruh, dan metode pendidikannya (dan sekolahnya) sangat termasyhur. Aku memperkenalkannya lewat ucapannya pada tahun 1930 di Jenewa, ketika ia melayani sebuah wawancara. Dan ia berkata, “Saya tak pernah bisa mencintai Tuhan dari Perjanjian Lama.”

Di mata Tagore, Tuhan PL adalah Tuhan yang cemburu, yang mengajarkan perang, yang suka mengancam, mengutuk bahkan menganjurkan membasmi musuh. Dan itu sebabnya ia tidak bisa mencintai Tuhan yang demikian. Ia lebih terpesona pada Tuhan dari Perjanjian Baru.

Apa yang diamati oleh Tagore ternyata kontras dengan apa yang disaksikan Raja Daud melalui Mazmur yang ditulisnya. Tidak. Tuhan Perjanjian Lama tidak sekejam yang dibayangkan Tagore bahkan tidak kejam samsekali. Tuhan menurut Daud adalah yang pengampun yang tak terbatas, seperti ibu mengasuh anaknya yang di dalam kandungan (raham). Kesabarannya panjang, ia tidak membalas setimpal dengan hal tidak senonoh yang kita kerjakan. Dan, itu sudah sejak dulu, sejak Perjanjian Lama, sejak dunia ini Ia ciptakan.

Dan Daud dapat tiba pada kesimpulan itu karena --tidak seperti Tagore yang mengenali Tuhan lewat filsafat, ajaran, dogma -- ia mengenali Tuhannya. Bergaul rapat. Dan mengalami kebaikan dan pengampunan Tuhan. Sejak ia masih remaja ketika diurapi. Ketika ia lolos dari sergapan maut pasukan Raja Saul. Ketika ia merancang kejahatan demi mendapatkan Betsyeba, istri salah seorang panglimanya. Juga ketika ia menderita, terusir dari Istana karena ulah anak kesayangannya, Absyalom.

Dan dalam lautan gembira dan samudera dukacita, tak sekejappun Daud merasa lepas dari penyertaan Tuhan. Ia tidak pernah lari dari Tuhan, baik ketika ia senang pun dalam susah. Ketika ia jadi orang baik-baik, pun dalam kebengalannya.

Itu juga berita pengampunan yang aku kabarkan kepada anak-anak remaja itu. Dalam kemudaanmu, dalam kegalauanmu, dalam konflikmu, dalam ketersisihanmu (dari orang-orang yang lebih tua yang sering sok tahu) pengampunan Tuhan tidak pernah terbatas. Jangan itu menghalangimu datang kepadaNya. Jangan biarkan ketakutan memisahkanmu dari Tuhan. Jangan biarkan gereja kita kosong hanya karena engkau salah mengerti, seolah-olah gereja hanya tempat bagi orang-orang suci bersih.

Tadi aku mengajak Oma Wilma untuk memberi kesaksian. Oma yang kini berusia 80 tahun itu berkisah tentang bagaimana ia semasih remaja dididik oleh orang tuanya untuk selalu jujur. Secara berkala ibunya membekalinya Rp 10 untuk belanja di pasar. Dan suatu hari, ia mencoba melawan amanat ibunya. Yang seharusnya ia belanja Rp 10, kini ia potong belanja Rp 8, dan sisanya ia kantongi. Sempat beberapa kali begitu sampai akhirnya ia merasa tidak kuat lagi. Ia akhirnya berdoa kepada Tuhan, mengaku salah. Dan ketika ia membicarakannya secara terbuka dengan ibunya, ia merasa lega. Ia merasakan pengampunan yang besar. Dan sampai sekarang, ia masih dapat membayangkan kelegaan yang ia dapatkan di masa remajanya itu.

Ada sekitar 30 orang anak remaja yang hadir pada ibadah itu. Dan, yang sangat menyenangkanku ialah sikap spontanitas mereka ketika diminta berbicara. Ketika satu-dua diantara mereka aku minta bercerita tentang bagaimana mereka membayangkan kasih dan pengampunan Tuhan, sebagian besar membayangkan ayah dan ibu mereka.

Dan tidak seperti pendapat umum yang berkembang, yang mengatakan bahwa anak-anak remaja ini datang ke gereja karena disuruh orang tuanya dan bukan karena kemauan mereka sendiri , aku menyaksikan sendiri pendapat itu salah. Aku menyaksikan bagaimana mereka dapat tertawa lepas ketika melihat gambar yang lucu, tetapi juga dengan mata berkaca-kaca ketika mendengar kisah yang mengharukan. Dan terimakasih untuk tidak menyentuh gadget mereka sedetik pun, walaupun tidak ada larangan untuk itu.

Di akhir khotbahku, aku meminta kami menyanyikan salah satu dari lagu Kidung Jemaat, "Tuhanku bila Hati Kawanku." Aku selalu terharu apabila menyanyikan lagu ini, terutama terkenang pada adik dan dua sahabat remajaku (Eva, Monang dan Harjon) yang dipanggil Tuhan tanpa pernah aku melihat wajah mereka untuk terakhir kali. Dan diantara anak-anak remaja itu, aku melihat tidak sedikit yang memejamkan mata. Semoga mereka sedang menghayati lagu ini, dan dapat kupastikan bukan karena mengantuk.

Seusai ibadah, seperti biasanya pada pertukaran pelayanan, kami menyempatkan duduk bersama kembali. Dan betapa aku dapat merasakan, keceriaan anak-anak remaja ini bertemu dengan teman-teman baru mereka dari gereja lain. Mereka saling bertanya jawab, bertukar cerita tentang pengalaman melayani di gereja masing-masing. Aku berterimakasih kepada Tuhan karena Amartya, putriku itu, yang juga turut dalam rombongan kami, ikut lebur dan mengalami kenyataan ini, sebuah episode yang hilang dari kehidupan ayahnya di masa remaja dulu.

Semoga remaja di seluruh dunia mengalami keceriaan seperti yang kami alami pagi tadi.

No comments:

Post a Comment