Sekali
waktu di tahun 2013, di depan 9000 siswa sekolah jesuit, Paus
Fransiskus berkata, bahwa iman yang hidup itu seperti sebuah perjalanan
panjang (journey). Ia harus dijalani setapak demi setapak dan tidak
boleh tergesa-gesa.
Dalam perjalanan itu ada saat-saat gelap, saat-saat jatuh dan saat-saat galau. Dan menemukan kegelapan, jatuh dan galau, adalah hal biasa dalam perjalanan panjang. Jangan takut, kata dia. Yang penting adalah terus bergerak. Bangkit bila jatuh. dan terus melangkah.
Paus mengatakan hal itu ketika salah satu dari siswa bertanya kepadanya, bahwa dirinya sudah berusaha untuk percaya Tuhan, tetapi masih sering gagal dan ragu. Lalu, apa yang harus aku lakukan, Pak Paus? Adakah nasihat yang ingin kau berikan?, tanya siswa kepada Paus. Dan keluarlah perkataan Paus tentang iman sebagai sebuah perjalanan jauh (journey).
Perkataan Paus itu pula yang selalu aku ingat-ingat pada hari-hari menjelang Amartya, putri kami itu, akan angkat sidi pada 24 Mei lalu. Aku memandang bahwa tatkala ia mengaku percaya (sidi) di gereja pada hari itu, berarti satu tahap perjalanan imannya sudah ia lalui, dan ia masih harus terus melangkah. Dalam perjalanan panjang iman itu, tak boleh sedikit pun pernah berfikir bahwa penyertaan Tuhan pernah lekang entah seperseribu detik pun. Kendati --tentu-- rasa galau, jatuh, terluka, gagal, kecewa, sewaktu-waktu bisa menghinggapi.
Bahkan secara harfiah pun, kehidupan imannya itu bisa kuhayati sebagai sebuah perjalanan. Aku tidak lupa ketika di usia belum genap satu tahun, aku mengusahakan menyimpan sedikit demi sedikit uang agar bisa membeli tiket kapal Gunung Kelud, untuk bisa pulang ke kampung halaman di Sarimatondang, untuk membaptiskannya di GKPS Sarimatondang, tempat ayahnya dulu dibaptis.
Kami kurang beruntung sebab pada minggu-minggu ketika kami di Sarimatondang itu, tidak ada jadwal pembaptisan. Lalu pendeta menyarankan agar kami membaptiskannya di gereja GKPS Tigabolon, sebuah gereja masih di dalam lingkungan GKPS Sarimatondang. Lalu dia pun dibaptis di sana.
Lalu sejak batita hingga kelas enam sd, ia bersekolah minggu di GKI Kwitang. Setiap hari Minggu aku membawa dia pagi-pagi sekali dari rumah kontrakan kami di Pondok Kopi untuk dia bisa mengikuti sekolah minggu itu. Ketika kami pindah ke kompleks mertua indah di Pasar Minggu, ritual itu pun tetap kami jalankan.
Lalu ketika kami pindah ke Ciputat, mulai kami ngos-ngosan. Setiap hari Minggu pagi, perjalanan sejauh 80 km pulang pergi harus ditempuh ke Kwitang, menempuh jalan tol, melintasi dua propinsi (Banten dan DKI Jakarta). Beruntunglah, lontong cap go meh yang selalu setia dijual sehabis ibadah di bagian belakang gereja itu, jadi salah satu penghiburan kepada Amartya dan ibunya.
Lalu kami memutuskan pindah ke GKI Sarua Indah. Aku menghayatinya sebagai sebuah tahapan perjalanan iman juga. Tetapi yang terutama adalah Amartya. Sebab ia memasuki tahap baru perjalanan imannya di sini yaitu dengan memasuki masa remaja. Syukur, karena ia cepat beradaptasi terutama karena banyak teman-teman sekolahnya ternyata juga ikut menggabungkan diri di sini.
Ketika dia dan kawan-kawannya mengaku iman percaya pada 24 Mei lalu itu, lagi-lagi aku teringat pada perkatan Paus Fransiskus itu. Ya, iman adalah sebuah perjalanan jauh. Sebanyak 10 orang mereka yang mengaku iman percaya, sembilan diantaranya perempuan. Dan semuanya menitikkan air mata ketika seusai diteguhkan, lalu diminta menghadap kepada jemaat dan mereka bernyanyi. Aku sempat bertanya kepada Amartya, apa yang ia tangiskan sehingga perlu menitikkan air mata tatkala mengaku iman percaya. Ia hanya tersenyum dan membiarkan jawabannya itu tetap menjadi rahasia.
Di rumah, kami mengadakan sebuah kenduri kecil. Opung Amartya dari kampung Sarimatondang sengaja kami undang, dan dengan senang hati --walaupun was-was tentang kemungkinan asam uratnya kambuh -- mereka datang. Ibu pendeta Yerusa Maria berkenan pula membawakan khotbah.
Acara kenduri itu sebetulnya tak lebih dari hanya makan bersama dan parade nasihat. Mulai dari dongan sahuta (kawan sekampung dari vila dago tol), majelis jemaat, boru Siadari, Keluarga Siadari, Opung, Hula-hula Damanik, kami daulat berbicara. Memberikan nasihat dan peneguhan kepada Amartya. Dan semuanya dengan sadar, memberi nasihat dalam disiplin waktu yang sangat akurat, tiap orang tak lebih mengambil waktu tiga menit.
Dan lagi-lagi, benarlah kata Paus Fransiskus, bahwa iman adalah sebuah perjalanan yang panjang. Semua orang pada hari itu memberi petuah bahwa satu tahap telah berlalu tetapi jalan masih panjang. Dan penyertaan Tuhan tak pernah lekang sedetik pun.
Dalam perjalanan itu ada saat-saat gelap, saat-saat jatuh dan saat-saat galau. Dan menemukan kegelapan, jatuh dan galau, adalah hal biasa dalam perjalanan panjang. Jangan takut, kata dia. Yang penting adalah terus bergerak. Bangkit bila jatuh. dan terus melangkah.
Paus mengatakan hal itu ketika salah satu dari siswa bertanya kepadanya, bahwa dirinya sudah berusaha untuk percaya Tuhan, tetapi masih sering gagal dan ragu. Lalu, apa yang harus aku lakukan, Pak Paus? Adakah nasihat yang ingin kau berikan?, tanya siswa kepada Paus. Dan keluarlah perkataan Paus tentang iman sebagai sebuah perjalanan jauh (journey).
Perkataan Paus itu pula yang selalu aku ingat-ingat pada hari-hari menjelang Amartya, putri kami itu, akan angkat sidi pada 24 Mei lalu. Aku memandang bahwa tatkala ia mengaku percaya (sidi) di gereja pada hari itu, berarti satu tahap perjalanan imannya sudah ia lalui, dan ia masih harus terus melangkah. Dalam perjalanan panjang iman itu, tak boleh sedikit pun pernah berfikir bahwa penyertaan Tuhan pernah lekang entah seperseribu detik pun. Kendati --tentu-- rasa galau, jatuh, terluka, gagal, kecewa, sewaktu-waktu bisa menghinggapi.
Bahkan secara harfiah pun, kehidupan imannya itu bisa kuhayati sebagai sebuah perjalanan. Aku tidak lupa ketika di usia belum genap satu tahun, aku mengusahakan menyimpan sedikit demi sedikit uang agar bisa membeli tiket kapal Gunung Kelud, untuk bisa pulang ke kampung halaman di Sarimatondang, untuk membaptiskannya di GKPS Sarimatondang, tempat ayahnya dulu dibaptis.
Kami kurang beruntung sebab pada minggu-minggu ketika kami di Sarimatondang itu, tidak ada jadwal pembaptisan. Lalu pendeta menyarankan agar kami membaptiskannya di gereja GKPS Tigabolon, sebuah gereja masih di dalam lingkungan GKPS Sarimatondang. Lalu dia pun dibaptis di sana.
Lalu sejak batita hingga kelas enam sd, ia bersekolah minggu di GKI Kwitang. Setiap hari Minggu aku membawa dia pagi-pagi sekali dari rumah kontrakan kami di Pondok Kopi untuk dia bisa mengikuti sekolah minggu itu. Ketika kami pindah ke kompleks mertua indah di Pasar Minggu, ritual itu pun tetap kami jalankan.
Lalu ketika kami pindah ke Ciputat, mulai kami ngos-ngosan. Setiap hari Minggu pagi, perjalanan sejauh 80 km pulang pergi harus ditempuh ke Kwitang, menempuh jalan tol, melintasi dua propinsi (Banten dan DKI Jakarta). Beruntunglah, lontong cap go meh yang selalu setia dijual sehabis ibadah di bagian belakang gereja itu, jadi salah satu penghiburan kepada Amartya dan ibunya.
Lalu kami memutuskan pindah ke GKI Sarua Indah. Aku menghayatinya sebagai sebuah tahapan perjalanan iman juga. Tetapi yang terutama adalah Amartya. Sebab ia memasuki tahap baru perjalanan imannya di sini yaitu dengan memasuki masa remaja. Syukur, karena ia cepat beradaptasi terutama karena banyak teman-teman sekolahnya ternyata juga ikut menggabungkan diri di sini.
Ketika dia dan kawan-kawannya mengaku iman percaya pada 24 Mei lalu itu, lagi-lagi aku teringat pada perkatan Paus Fransiskus itu. Ya, iman adalah sebuah perjalanan jauh. Sebanyak 10 orang mereka yang mengaku iman percaya, sembilan diantaranya perempuan. Dan semuanya menitikkan air mata ketika seusai diteguhkan, lalu diminta menghadap kepada jemaat dan mereka bernyanyi. Aku sempat bertanya kepada Amartya, apa yang ia tangiskan sehingga perlu menitikkan air mata tatkala mengaku iman percaya. Ia hanya tersenyum dan membiarkan jawabannya itu tetap menjadi rahasia.
Di rumah, kami mengadakan sebuah kenduri kecil. Opung Amartya dari kampung Sarimatondang sengaja kami undang, dan dengan senang hati --walaupun was-was tentang kemungkinan asam uratnya kambuh -- mereka datang. Ibu pendeta Yerusa Maria berkenan pula membawakan khotbah.
Acara kenduri itu sebetulnya tak lebih dari hanya makan bersama dan parade nasihat. Mulai dari dongan sahuta (kawan sekampung dari vila dago tol), majelis jemaat, boru Siadari, Keluarga Siadari, Opung, Hula-hula Damanik, kami daulat berbicara. Memberikan nasihat dan peneguhan kepada Amartya. Dan semuanya dengan sadar, memberi nasihat dalam disiplin waktu yang sangat akurat, tiap orang tak lebih mengambil waktu tiga menit.
Dan lagi-lagi, benarlah kata Paus Fransiskus, bahwa iman adalah sebuah perjalanan yang panjang. Semua orang pada hari itu memberi petuah bahwa satu tahap telah berlalu tetapi jalan masih panjang. Dan penyertaan Tuhan tak pernah lekang sedetik pun.
No comments:
Post a Comment