Kita
yang hampir setiap hari menggunakan jasa kereta commuter pulang-pergi
ke kantor, dalam dua atau tiga tahun terakhir kian terbiasa mendengar
suara announcer mengumumkan info tentang stasiun pemberhentian berikut.
Ketika kereta berhenti, selalu announcer itu mengumumkan agar penumpang
memeriksa kembali tiket dan barang bawaan agar jangan tertinggal.
Berbeda dengan di bis transjakarta dimana announcernya adalah suara yang sudah direkam dan diperdengarkan menjelang bus tiba di halte pemberhentian, announcer di kereta commuter benar-benar 'live', diumumkan langsung oleh seorang petugas. Memang, announcement yang sudah direkam juga ada dan diperdengarkan. Tetapi announcer 'live' itu juga selalu ada.
Satu tahun ini aku merasa ada yang berbeda pada dialek dan gaya bertutur para announcer itu. Jika dulu para announcer itu berbicara dengan dialek dan intonasi yang sudah standar --meniru-niru gaya bicara pilot pesawat terbang -- belakangan ini aku melihat semakin beragam gaya dan dialek mereka.
Ada yang bersuara halus, persis seperti pilot pesawat terbang dengan rute panjang. Mereka berbicara seperti berbisik, takut membangunkan penumpang yang tertidur karena penerbangan masih 12 jam lagi ke depan. Kala lain, ada announcer yang berbicara seperti para announcer di supermarket ketika mengumumkan belanjaan yang ketinggalan atau anak yang tidak tahu dimana kedua orang tuanya.
Yang terbaru dan belakangan ini sering kudengar adalah announcer dengan dialek seperti 'orang seberang.' Aku pernah mendengar announcer yang cara bicaranya seperti kawan-kawan dari Minang, yang mengingatkan kita pada pedagang sapu tangan atau pedagang sepatu di pasar tanah abang. Tetapi -- dan belakangan ini menjadi favoritku -- ada announcer yang gaya berbicaranya mengingatkanku pada teman-teman di Flores.
Mungkinkah para putra Flores telah juga diakomodasi di jajaran karyawan PT KAI? Dugaanku, ya.
Mendengar gaya announcer kereta commuter yang berganti-ganti dan beraneka rupa manakala kita bertukar kereta, aku jadi teringat pada suasana di gereja kami gki, entah di gki mana pun. Para "announcer" dengan beragam dialek itu menjadi santapan setiap hari Minggu. Di awal ibadah, kita mungkin akan disuguhi cara bicara yang lugas tanpa banyak intonasi, karena yang bertugas membaca warta adalah penatua X yang orang Toraja. Tetapi ketika doa persembahan dipanjatkan, kita disuguhi dengan tutur kata yang super-sopan ala birokrat priyayi kelas tinggi. Karena yang membawakan doa adalah penatua dari Jawa.
Menurutku, baik announcer di KAI maupun para announcer di GKI itu adalah kekayaan yang harus dipelihara dan ditumbuh-suburkan. Era dimana segala sesuatu yang seragam itu dianggap baik, sudah lewat. Sekarang adalah era dimana kita menghargai setiap keunikan yang kita punya, keunikan apa pun itu sepanjang ia membawa kebaikan, termasuk keunikan dalam dialek dan cara bertutur.
Mudah-mudahan aku tak lagi malu bila ketika membacakan warta suatu kali nanti, orang-orang lantas berkomentar, "batak kali cara bicara kau."
Berbeda dengan di bis transjakarta dimana announcernya adalah suara yang sudah direkam dan diperdengarkan menjelang bus tiba di halte pemberhentian, announcer di kereta commuter benar-benar 'live', diumumkan langsung oleh seorang petugas. Memang, announcement yang sudah direkam juga ada dan diperdengarkan. Tetapi announcer 'live' itu juga selalu ada.
Satu tahun ini aku merasa ada yang berbeda pada dialek dan gaya bertutur para announcer itu. Jika dulu para announcer itu berbicara dengan dialek dan intonasi yang sudah standar --meniru-niru gaya bicara pilot pesawat terbang -- belakangan ini aku melihat semakin beragam gaya dan dialek mereka.
Ada yang bersuara halus, persis seperti pilot pesawat terbang dengan rute panjang. Mereka berbicara seperti berbisik, takut membangunkan penumpang yang tertidur karena penerbangan masih 12 jam lagi ke depan. Kala lain, ada announcer yang berbicara seperti para announcer di supermarket ketika mengumumkan belanjaan yang ketinggalan atau anak yang tidak tahu dimana kedua orang tuanya.
Yang terbaru dan belakangan ini sering kudengar adalah announcer dengan dialek seperti 'orang seberang.' Aku pernah mendengar announcer yang cara bicaranya seperti kawan-kawan dari Minang, yang mengingatkan kita pada pedagang sapu tangan atau pedagang sepatu di pasar tanah abang. Tetapi -- dan belakangan ini menjadi favoritku -- ada announcer yang gaya berbicaranya mengingatkanku pada teman-teman di Flores.
Mungkinkah para putra Flores telah juga diakomodasi di jajaran karyawan PT KAI? Dugaanku, ya.
Mendengar gaya announcer kereta commuter yang berganti-ganti dan beraneka rupa manakala kita bertukar kereta, aku jadi teringat pada suasana di gereja kami gki, entah di gki mana pun. Para "announcer" dengan beragam dialek itu menjadi santapan setiap hari Minggu. Di awal ibadah, kita mungkin akan disuguhi cara bicara yang lugas tanpa banyak intonasi, karena yang bertugas membaca warta adalah penatua X yang orang Toraja. Tetapi ketika doa persembahan dipanjatkan, kita disuguhi dengan tutur kata yang super-sopan ala birokrat priyayi kelas tinggi. Karena yang membawakan doa adalah penatua dari Jawa.
Menurutku, baik announcer di KAI maupun para announcer di GKI itu adalah kekayaan yang harus dipelihara dan ditumbuh-suburkan. Era dimana segala sesuatu yang seragam itu dianggap baik, sudah lewat. Sekarang adalah era dimana kita menghargai setiap keunikan yang kita punya, keunikan apa pun itu sepanjang ia membawa kebaikan, termasuk keunikan dalam dialek dan cara bertutur.
Mudah-mudahan aku tak lagi malu bila ketika membacakan warta suatu kali nanti, orang-orang lantas berkomentar, "batak kali cara bicara kau."
No comments:
Post a Comment