Pada tahun 1932, Thomas AS. Dorsey berumur 32 tahun dan belum lama menikah. Ia dan istrinya, Nettie, tinggal di sebuah apartemen di selatan Chicago.
Suatu siang bulan Agustus Thomas harus pergi ke St. Louis untuk menjadi solois utama dalam sebuah kebangunan rohani yang besar. Nettie sedang hamil tua anak pertama mereka dank arena itu Thomas sempat ragu untuk pergi. Namun karena ia merasa banyak orang mengharapkan kehadirannya, ia pun berangkat.
Namun, setelah berada di luar kota, ia menyadari bahwa dalam ketergesa-gesaannya, ia lupa membawa kotak musiknya. Ia kemudian memutar arah mobilnya dan dan kembali. Di rumah, ia menemukan Nettie sedang tidur nyenyak. Sempat ia ragu untuk pergi lagi, tetapi ia kemudian melangkah perlahan, menyelinap keluar karena takut mengganggu Nettie.
Keesokan malam dalam cuaca St. Louis yang panas dan gerah, orang banyak meminta dia untuk bernyanyi dan bernyanyi lagi. Ketika akhirnya ia duduk, seorang pesuruh berlari sambil membawa sebuah telegram dari Western Union. Di kertas kuning itu tertempel kata-kata: ISTRIMU BARU SAJA MENINGGAL.
Orang-orang menyanyi dengan sukacita sambil bertepuk tangan di sekitar dia, tapi dia nyaris tak dapat menahan diri untuk menangis keras-keras. Ia berlari ke telepon dan menelepon ke rumah. Apa yang dapat didengarnya di ujung telepon ialah: “Nettie meninggal. Nettie meninggal.”
Ketika ia pulang, ia mendengar bahwa Nettie telah melahirkan seorang anak laki-laki. Namun malam itu, bayi mereka meninggal. Ia menguburkan Nettie dan bayi laki-lakinya dalam peti yang sama. Lalu ia ambruk.
Selama berhari-hari ia menutup diri. Ia merasa Allah tidak adil kepadanya. Sempat terpikir tidak mau melayani Dia lagi atau menulis lagu-lagu Injil.
Namun kemudian, ketika ia makan siang sendirian di apartemen gelap pada hari-hari pertama yang menyedihkan itu, ia teringat kembali pada siang hari ketika ia pergi ke St. Louis. Sesuatu terus mengatakan kepada dia untuk tinggal bersama Nettie. Apakah itu Tuhan? Oh, jika ia lebih memperhatikan Dia hari itu, ia akan tinggal dan berada bersama Nettie ketika ia meninggal.
Sejak saat itu ia berjanji untuk lebih dekat mendengar suara-Nya.Namun ia tetap terbenam dalam kesedihan. Sampai seorang temannya, Profesor Frye, pada Sabtu malam berikutnya membawanya ke Poro College milik Madam Malone, sebuah sekolah musik yang tidak jauh dari apartemennya. Saat itu sepi, dan sinar matahari senja menyelinap melalui gorden jendela. Ia duduk di piano, dan jari-jarinya mulai memainkan tangga nada.
Sesuatu terjadi pada dia saat itu dan dia merasa damai. Seolah-olah ia dapat menggapai dan menyentuh Allah. Tanpa sadar ia memainkan melodi, yang belum pernah ia dengar atau mainkan sebelumnya, dan kata-katanya masuk ke benaknya, seakan-akan mengalir begitu saja.
“Tuhan memberi kata-kata dan melodi ini kepada saya. Dia juga menyembuhkan jiwa saya. Saya belajar bahwa ketika kita berada dalam kesedihan terdalam, ketika kita merasa sangat jauh dari Allah, itulah saat Dia berada paling dekat, dan saat kita paling terbuka bagi kuasa-Nya yang memulihkan,” tulis dia, di kemudian hari.
Maka terciptalah lagu Precious Lord, yang oleh K.P. Nugroho diterjemahkan dengan judul, “Tuhanku Pimpinlah” sebagaimana dapat dibaca pada NKB 131.
(Disajikan pada Seri Pembinaan Warta Jemaat GKI Sarua Indah, 26 Juli 2015. Dipetik dan ditulis ulang dari tulisan berjudul Precious Lord – Kisah NyataThomas A. Dorsey, dapat dibaca di http://gkipi.org/precious-lord-kisah-nyatathomas-a-dorsey/)
No comments:
Post a Comment