09 August 2015

Panggilan Sayang

Kemarin yang berkhotbah di gereja kami adalah Pendeta Gordon Hutabarat dari GKI Kota Wisata. Tema khotbah "Jadilah Penurut-penurut Allah," dengan bacaan II Samuel 18:5-15, 31-33 Efesus 4:25-5:2; dan Yohanes 6:35;41-51 serta Mazmur 130 (didaraskan).

Pada khotbah itu aku mencatat sekelumit kupasan Pdt Gordon tentang Absyalom dan Raja Daud, anak dan ayah yang tidak memiliki hubungan yang akur.

Sebagaimana kita tahu, Absyalom yang ganteng --paling ganteng di seluruh wilayah Israel -- adalah sosok anak pemberontak. Ia tidak suka pada ayahnya bahkan merancang kudeta, yang sempat membuat Daud pergi keluar dari istana.


Yang membuatku terkesima ialah ketika Pdt Gordon tidak melihat kisah ini sebagai kasus seorang anak yang memberontak belaka, tetapi ia juga melihatnya sebagai sebuah kasus ketidakpahaman orang tua kepada aspirasi/keinginan anak.

Absyalom membenci ayahnya tatkala adik perempuannya diperkosa oleh kakak tirinya, dan Daud mendiamkan hal itu. Absyalom marah dan melihat ayahnya sebagai seorang raja yang mempraktikkan ketidak-adilan. Dan Daud tampaknya tidak menghiraukan hubungan yang tidak harmonis itu.Raja Daud tetap tak peduli pada luka batin Absyalom.


Dalam pembicaraannya dengan para penasihat serta jajaran stafnya, Daud bahkan seakan enggan menyebut Absyalom sebagai "anakku." Ia lebih suka menyebut Absyalom sebagai "anak muda itu," yang tampaknya adalah penegasan keinginan untuk membuat jarak (secara formal keistanaan). Padahal, secara diam-diam, ia sebetulnya memerintahkan juga pembantu-pembantunya untuk mengawasi dan menjaga anak yang --dugaan saya-- sangat disayanginya itu.

Sampai kemudian Absyalom tewas ketika terjerat di pohon tarbantin lantas kemudian dihabisi oleh tentara Israel, Daud merasakan bagaimana kehilangan darah dagingnya sendiri. "Anakku, anakku," kata dia dalam tangis penyesalan.
 
"Kenapa tidak dari dulu dia mengatakan Absyalom, anakku, anakku?" tanya Pdt Gordon secara retoris dari atas mimbar. Dan aku duduk tertunduk merenungkan khotbah itu. Membayangkan lagi bagaimana Absyalom yang muda, cakep, energik, dalam banyak hal sesungguhnya adalah fotokopi ayahnya semasa muda. Tetapi hubungan keduanya harus berakhir setragis itu.

Seusai ibadah kusempatkan mencari Amartya. Kuciumkan keningnya sembunyi-sembunyi ketika kami menjauh dari keramaian orang-orang yang bersalaman dengan pendeta. Dia pasti menduga itu hanya ciuman rutin biasa, tidak mengira bahwa itu adalah ciuman yang dipicu oleh khotbah pagi itu. Dan kuingatkan diriku, untuk lebih sering memanggilnya dengan kata boyu, kata lain dari boru, yang berarti putri, putriku.

By the way, kemarin itu tema liturgi bulan budaya mengambil mengambil konteks budaya Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Pdt Gordon ketika berkhotbah memakai semacam mahkota khas Papua, yang sesudah beliau ibadah, aku sempat pinjam untuk kukenakan berfoto. Ada pun mahkota itu disediakan Pnt Juliana Boeky.


Lagu-lagu yang dikumandangkan diambil dari Nyanyian Ungkup (Kalimantan) sedangkan Paduan Suara Eklesia membawakan pujian berbahasa Toraja dengan judul Pa'gandanganni tu Puang.

No comments:

Post a Comment