16 August 2014

Kopi dari Tuhan

Sudah sejak lama aku merupakan penggemar fanatik kopi yang dihidangkan di sekretariat gereja, baik ketika sehabis rapat, pun seusai PA atau doa subuh. Tidak dapat kujelaskan apa penyebabnya. Aku selalu merasakan kopi yang dihidangkan di sana agak berbeda dengan kopi instan yang acap kuteguk di rumah. Lebih tebal rasa kopinya, lebih kuat aromanya.


Mula-mula hal ini kuanggap semacam sugesti saja. Barangkali aku terlalu terobsesi dengan 'anggur Kana' yang yang langsung dibuat sendiri oleh Yesus. Lalu mungkin alam bawah sadarku juga memunculkan fantasi bahwa Tuhan sendirilah yang menyeduhkan kopi bagi kami tatkala kami berkumpul di sekretariat itu. Siapa tahu melalui tangan Pak Suryatin, satu-satunya koster kami, Yesus bekerja.

Rasa bersyukur tetapi juga sekaligus penasaran atas nikmatnya kopi yang ada di sekretariat gereja sekali waktu aku ceritakan seusai kami melakukan doa subuh. Biasanya, sehabis acara itu, kami memang tidak langsung bubar. Selama 15-30 menit kami bercakap-cakap tentang apa saja yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.

Lalu ketika kopi dihidangkan (biasanya kopi dihidangkan bersama dengan teh. Sering juga ada diantara yang hadir membawa buah tangan berupa kue-kue untuk kami santap bersama), aku pun tergerak bercerita tentang perasaanku mengenai kopi itu. Sempat muncul berbagai canda menanggapi penilaianku mengenai enaknya kopi tersebut. Ada yang bilang, kopi itu enak karena gratis. Ada yang bilang, karena kopi itu sudah didoakan.

Sampai kemudian, sambil senyum-senyum, salah seorang istri penatua yang hadir pada ibadah doa subuh itu, menceritakan bahwa selama ini dialah yang sering menyediakan bubuk kopi di sekretariat itu. "Saya tidak tahu kalau Pak Eben penggemar kopi. Nanti kalau saya ke Toraja lagi, saya bawain ya," kata dia sambil tertawa. Ia dan suaminya memang sama-sama berasal dari Toraja. Ia rupanya secara sukarela rutin 'memasok' kopi Toraja ke sekretariat kami.

Tiga minggu lalu seusai rapat persiapan yang dilangsungkan setiap Rabu malam, aku terkejut ketika menghampiri sepeda motorku akan pulang. Di stang-nya tergantung kantong plastik putih berisi sesuatu. Setelah aku mendekat, kulihat di dalamnya ternyata sebungkus bubuk kopi Toraja (seperti di dalam gambar ini).

Aku segera masuk lagi ke dalam ruangan untuk mencari tahu siapa yang menghadiahiku kopi itu. Aku bertanya kepada Mas Suryatin yang ketika kami rapat biasanya selalu duduk di teras sekretariat menjagai sepeda motor yang ramai diparkir di sana. Sambil tertawa dia mengatakan bahwa yang menggantungkan kantong berisi bubuk kopi di sepeda motorku tak lain daripada Pak Penatua yang berasal dari Toraja, yang istrinya rutin menyediakan kopi di sekretariat kami. "Bawa saja Pak, berkat jangan ditolak," kata Pak Suryatin, menirukan gaya bicara para penatua aktivis yang sering berlalu-lalang di sekretariat itu..

Diberkatilah para petani kopi Toraja, karena mereka mempunyai duta-duta pemasaran yang hebat dan baik seperti Pak Penatua dan istrinya. Mereka diberkati untuk jadi berkat.

No comments:

Post a Comment