03 August 2014

Roh Kudus dan Sop Kacang

Mewakili budaya Sumatera, ibadah tadi pagi memakai liturgi berbahasa Nias. Ini merupakan minggu pertama dari bulan budaya yang akan berlangsung sebulan penuh. Minggu depan, ibadah akan memakai liturgi bernuansa Nusa Tenggara Timur.


Tadi pagi aku kebagian mengumpulkan kolekte. Karena itu tidak kebagian mengenakan rompi khas Nias yang berwarna-warni cerah. Tapi aku tak kehilangan akal. Di konsistori seusai ibadah, kusempatkan meminjam rompi yang dipakai oleh penatua pembaca warta. Pak Marino juga ternyata punya pemikiran yang sama. Ia juga meminjam rompi yang dikenakan penatua yang jadi majelis pengantar. Kami pun berselfie ria, sebagai cara kami merayakan puspawarna Indonesia yang terdiri dari berbagai sukubangsa.

Ada berita gembira di bazaar kuliner yang diadakan di halaman gereja. Semua jualan, termasuk klappertaart dan sop kacang merah bikinan Superchef, ludes dalam waktu 30 menit. Jika ingin penjelasan spiritualnya, aku bisa mengatakan tentulah Roh Kudus yang bekerja mendorong para anggota jemaat untuk bermura hati menyisihkan uang membeli aneka hidangan khas daerah itu.

Sedangkan penjelasan ekonomisnya lebih sederhana: karena bazaar seperti ini tidak selalu ada setiap minggu, sementara para pekerja rumah tangga masih banyak yang belum mudik yang menyebabkan urusan masak-memasak di rumah keluarga-keluarga anggota jemaat ini menjadi masalah tersendiri, maka berbelanja di bazaar kuliner begini sambil menyumbang untuk gereja merupakan pilihan paling rasional.

Dan agar Superchef bertambah semangat, beberapa menit di sela-sela dia melayani pembeli, aku sempatkan mendatanginya berpromosi sekaligus memberi endorsement, "Bapak/Ibu, hidangan ini dibuat dan dimasak oleh boru Damanik asal Tulung Agung yang disamping saya ini. Sudilah menikmatinya...."

Ya, namanya juga usaha.

No comments:

Post a Comment