08 November 2014

Dalam Masa Sulit

Seorang ibu Tionghoa kehilangan putra tunggalnya. Ia menghadap pemimpin agama di desanya dan berkata, "Adakah sesuatu yang dapat Anda berikan untuk mengurangi penderitaan yang saya rasakan?"

"Ya," katanya. "Ada sesuatu yang bagus sekali yang dapat Anda lakukan. Saya ingin agar engkau pergi dan menemukan biji sesawi dari sebuah rumah yang tidak mempunyai masalah. Biji sesawi dari rumah seperti itu dapat mencegah segala masalah. Bila engkau telah menemukannya, antarkanlah kepadaku dan saya akan menggunakannya untuk menyembuhkan penderitaanmu."


 Maka ibu itu keluar dan mendatangi sebuah rumah mewah. Tampaknya tidak mungkin ada sesuatu yang kurang dalam rumah ini. Ia mengetuk pintu, mengutarakan niatnya, dan mereka menjawab, "Anda salah alamat."

Kemudian mereka menguraikan kepadanya semua masalah yang mereka alami.

Ketika ia mendengar permasalahan mereka, ia berpikir, "Sekarang saya tahu sesuatu tentang masalah-masalah...Mungkin saya dapat menolong orang-orang ini dengan bantuan masalah-masalah mereka sendiri."
Karena itu ia mendengarkan mereka dan ini membantu orang-orang itu.

Tetapi ia tetap bertekad mencari biji sesawi ajaib itu. Walaupun sudah lama berjalan, ia tetap tidak menemukan biji itu. Dimana saja setiap orang mempunyai kesusahan yang berbeda-beda.

Tetapi sesungguhnya ia telah menemukan biji sesawi ajaib itu, karena dalam usaha untuk menolong orang lain memecahkan persoalan-persoalan mereka, ia melupakan kesulitan yang dialaminya.

***

Kisah gubahan Willi Hoffsuemmer Ini merupakan satu dari tiga cerita inspiratif yang kami baca bersama, ketika kemarin pagi, aku membawakan PA di Komisi Usia Lanjut/KUL di gereja kami. Ada sebelas orang yang hadir, tiga diantarannya seusia ibu dan ayah saya (75-80 tahun).

PA kemarin mengusung tema "Dalam Masa Sulit," yang dilandaskan pada nats yang menggambarkan ketidaksudian Petrus menerima kenyataan bahwa Yesus akan menjalani penderitaan (Matius 16:22). Setelah membahas konteks cerita Alkitab itu, kami kemudian membaca kisah demi kisah yang aku bagikan dalam lembaran-lembaran kecil, termsuk kisah gubahan Willi Hoffsuemmer itu.

Lalu aku meminta kami masing-masing bercerita tentang pengalaman hidup, terutama di saat-saat menghadapi kesesakan, layaknya sebuah kelas sastra yang tengah membedah karya-karya klasik.

Aku teringat, bahwa dalam khotbah-khotbahnya, Yesus sering menggunakan perumpamaan-perumpamaan dari zamannya, dan dengan membagikan kisah-kisah ringan untuk dibaca bersama, kuharap kami sama-sama dapat memahami bahwa pengalaman-pengalaman yang dilalui oleh orang-orang di Alkitab itu adalah pengalaman-pengalaman kami juga.

Rasanya sepanjang PA itu yang terjadi adalah sebuah percakapan di meja makan yang rileks, akrab, dibumbui canda, tetapi juga dibingkai oleh tepo sliro sehingga semua saling bicara dengan bahasa yang terjaga.

Semoga itu semua terjadi karena kami sama-sama membayangkan bahwa Yesus juga hadir di antara kami, mendengar cerita-cerita kami, yang bermutu, setengah bermutu ataupun yang mungkin tidak bermutu. Tetapi, ya, itulah kita. Sebuah keluarga.

No comments:

Post a Comment