16 December 2014

Cawan dan Advent

"Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi."

Tidak ada doa lain yang lebih sering terbersit dalam benakku selain doa yang tertulis pada Lukas 22:42 ini, manakala aku tiba pada bab-bab tersulit dalam pekerjaanku menulis. Dan dalam dua pekan terakhir, ia semakin sering seperti terngiang di telingaku.



Sudah lebih dari dua bulan ini aku merasa kehilangan semangat untuk menyentuh dokumen-dokumen yang jadi bahan penulisan buku memoar seorang tokoh bisnis. Sebetulnya bab demi bab yang sudah kumulai sejak Juni lalu, telah rampung hampir setengah perjalanan. Namun aku mendadak kehilangan semangat manakala tiba pada bagian yang dimana harus bercerita tentang sejumlah topik tentang manajemen risiko dan akuntansi perusahaan. Kisah-kisahnya agak teknis dan penuh dengan kata-kata yang ribet mencari padanannya dalam Bahasa Indonesia.

Dua bulan aku habiskan dengan hanya meniliknya sebentar-sebentar, lalu meninggalkannya lagi untuk sekian lama. (Ketika duduk di bangku kuliah, selama dua semester aku hanya mendapat nilai C untuk mata kuliah Akuntansi I dan II, dan sering bolos ketika mata kuliah Manajemen, walaupun dosennya bermurah hati memberiku nilai A. ehm).

Adakalanya aku seolah sudah menemukan 'kunci' untuk menuturkannya dengan sederhana dan ramah pembaca, tetapi di tengah jalan mendadak merasa tidak puas dan kecewa --bahkan marah -- lalu mendelete filenya yang acapkali sudah mencapai ribuan karakter.

Dan waktu terus tergerus. "Aku melihat ke gunung-gunung, darimanakah datangnya pertolongan," kata Pemazmur, lalu sesekali dari balik jendela pada malam-malam aku menghadapi laptopku, aku menatap ke satu-satunya pohon kelapa sawit di seberang jalan di depan rumah. Kebetulan letaknya di atas dataran yang cukup tinggi.

Ya, darimanakah datangnya pertolongan, pikirku, manakala setiap hari Sabtu, melalui pesan BBM-nya partnerku dalam menulis buku ini bertanya, "Sudah sampai dimana perjalanan naskahmu Bro?"

Hari Sabtu lalu aku mencoba membaca lebih teliti ke ayat-ayat di sekitar Lukas 22:42 itu. Terus terang kukatakan, sebelum ini aku hanya menghafal mati ayat itu tanpa pernah lagi menyimaknya dengan cermat. Dulu aku mendengar ayat itu diucapkan pada sebuah dramaturgi Paskah, yang menceritakan saat-saat sebelum Yesus disalib. Dan demikian berkesannya adegan-adegannya, sehingga aku menghafal mati ayat itu.

Ternyata ketika aku membuka alkitabku dan menemukan ayat yang ke 23, tertulis sebuah pemandangan yang indah, yang selama ini tidak pernah aku perhatikan. Di ayat 23 itu dikatakan, "Maka seorang malaikat dari langit menampakkan diri kepada-Nya untuk memberi kekuatan kepada-Nya."

Pertolongan itu ternyata datangnya dari langit. Dan ia datang bukan untuk melalukan cawan, melainkan memberikan kekuatan menikmati isi cawan.

Bagi mereka yang sudah khatam soal tafsir-menafsir Alkitab, penemuanku ini mungkin bukan sebuah 'aha,' bahkan cenderung sudah basi karena begitu seringnya diperdengarkan dalam khotbah-khotbah. Tapi bagi seseorang yang tengah desperate dikejar deadline, mendapati sesuatu yang bermakna dari hal yang selama ini diabaikan dan tidak terpikirkan, tetaplah merupakan pengalaman yang tidak biasa, kalau bukan luar biasa.

Sejak tiga hari lalu aku memulai lagi menelisik dokumen-dokumen itu. Malam-malam sambil aku berhadapan dengan laptopku, sesekali aku menatap ke pohon kelapa sawit di seberang jalan di depan rumah, dan hatiku kini berkata, pertolongan itu tidak datang dari gunung-gunung dan tidak datang dari pohon-pohon itu.

Pertolongan itu sudah kudapati dan sudah ada di dalam diriku dan dalam kesadaran batinku.

Hari Minggu lalu, yang melayani ibadah di gereja kami adalah Pdt Rudianto Djajakartika dari GKI Pondok Indah. Aku bertugas mendampinginya sebagai majelis pengantar. Salah satu inti khotbahnya ialah, kita saat ini sedang menjalani advent kita masing-masing. Apakah itu pengharapan sembuh dari sakit, berlalu dari persoalan-persoalan kehidupan rumah tangga, persoalan pekerjaan, persoalan pertemanan dan banyak persoalan lain, tetapi dalam advent, kata dia, kita meyakini bahwa Tuhan selalu beserta kita dan kita bersukacita karena itu.

(Ketika Pak Rudi berdiri di depan mimbar yang jaraknya hanya tiga meter dari tempat dudukku, aku terus-menerus mengingat naskah buku yang deadline-nya sudah dekat. Mungkin itulah adventku saat ini).

Aku cukupkan sampai di sini. Biasanya setelah aku menuliskan segala uneg-unegku di facebook, aku menemukan kelegaan dan semacam kekuatan juga. Mudah-mudahan Zuckerberg mengurungkan niatnya untuk menambah fitur dislike di facebook. Sebab jika itu ia realisasikan, aku akan sangat takut menuliskan sesuatu di laman facebook ini.

No comments:

Post a Comment