Hari
Jumat dan Sabtu (24-25 April) lalu 10 orang peserta katekisasi atau
disebut juga katekisan, mengikuti retreat katekisan di sebuah tempat
peristirahatan di kawasan Bojongsari, Sawangan, Depok.
Jaraknya hanya kira-kira 20 menit perjalanan dari GKI Sarua Indah, dan kurang lebih sedemikian pula jaraknya dari tempat tinggal sebagian besar katekisan ini. Namun, kami tetap mewajibkan mereka untuk menginap sebagai bagian dari proses akhir katekisasi mereka.
Pada hari Jumat sore dan malam harinya, kami mengundang Pdt Dr. Purboyo W. Susilaradeya dari GKI Pondok Indah untuk mengajar para katekisan, dengan tema, The Stewards of God. Dalam Bahasa Indonesia, ini berarti penatalayan Allah. Intinya, para katekisan tersebut diingatkan menjadi anggota sidi baru merupakan tahap awal menjadi penatalayan Allah. Dan kepada mereka sudah diamanatkan berbagai talenta, dan itu datangnya dari Tuhan. Dengan talenta itu mereka diharapkan mengembangkan diri di dalam dan dengan Tuhan.
Pada malam harinya, kami mencoba mempraktikkan doa labirin, pada saat mana para katekisan dan kami yang mendampingi mereka, masing-masing merenungkan arti panggilan hidup lewat doa dan perenungan. Kami cukup senang karena para remaja yang ikut ini tetap antusias dan tidak menunjukkan rasa lelah. Padahal sejak pagi hingga siang, mereka masih harus menyelesaikan pelajaran di sekolah masing-masing.
Keesokan harinya, kami membuka pagi dengan ibadah singkat. Aku mengambil nats Efesus 2:1-10 sebagai dasar perenungan, tentang kasih karunia Tuhan yang tidak terkira. Dan aku menceritakan sebuah kisah yang mudah-mudahan terpatri pada benak anak-anak remaja itu. Tentang seorang pelukis dan sahabatnya, yang pada suatu hari ia temukan galau, berjalan dengan letoy tanpa semangat dan selalu bermuram durja.
Lalu si pelukis itu mengatakan, ia akan melukis sahabatnya itu, yang letoy, galau dan selalu tak pernah berpengharapan. Dan ia menjanjikan akan menghadiahinya lukisan itu.
Lalu ketika lukisan itu sudah rampung, pelukis menepati janjinya. Dan ia menyerahkan lukisan itu kepada sahabatnya, yang letoy, galau dan selalu tak berpengharapan.
Alangkah terkejutnya sahabatnya tatkala ia membuka lukisan itu. Tampak di sana, bukan wajahnya yang letoy, galau dan tak berpengharapan yang ada. Sebaliknya, yang terlukis adalah wajahnya penuh senyum, ceria, bersemangat dan penuh pengharapan.
"Kamu menginginkan aku seperti yang kamu lukis ini bukan?" kata si sahabat kepada pelukis, yang dijawab dengan ya. Lalu si sahabat berkata, "Kalau begitu, aku akan berusaha begitu, dalam nama Tuhan. Bantu aku ya?"
Ibu Pdt Yerusa Maria pada hari kedua itu juga memberikan pengajaran tentang menjadi anggota jemaat yang bertanggung jawab dan peduli. Kami memang sengaja menekankan hal ini karena cukup umum di hampir sebagian besar gereja di Jakarta, para anak-anak itu begitu aktif ketika remaja, tetapi acap kali menghilang ketika sudah menjadi pemuda. Semoga para katekisan ini tidak.
Pada siang harinya, kami mengadakan percakapan gerejawi dengan masing-masing katekisan. Dua orang penatua mempercakapi dua katekisan. Percakapan tersebut lebih ditekankan pada mereview apa yang mereka pelajari selama katekisasi, seraya di sana-sini membangun dan menajamkan pemahaman mereka sebagai seorang pengikut Kristus. Terimakasih untuk para pendeta, yang sejauh ini sudah menyiapkan banyak bahan panduan tertulis untuk melakukan percakapan.
Lagi-lagi kami merasa gembira karena percakapan dengan para katekisan itu berlangsung dengan baik, lancar dan tidak terasa, satu setengah jam berlalu, dan kami seperti terhanyut dengan apa yang kami percakapkan. Sesekali aku seperti terlempar ke masa lalu, ketika aku juga seperti mereka, para katekisan itu, yang kadang grogi, kadang harus berpikir keras, untuk merumuskan apa yang kita imani (bukan hanya apa yang kita tahu) dalam kata-kata kita sendiri. Dan aku benar-benar merasa dikenyangkan oleh pemahaman, bahwa tiap generasi, tiap individu, punya cara dan ekspresinya sendiri untuk menyatakan iman percayanya, kendati dia dan aku mungkin ingin mengungkapkan hal yang sama.
Dari ibu pendeta dan dari daftar hadir mereka selama delapan bulan lebih mengikuti katekisasi, kami bersyukur mengetahui bahwa tingkat kehadiran mereka semua tidak ada yang dibawah 80 persen. Rupanya mereka yang sejak awal tidak yakin dapat memenuhi tingkat kehadiran 80 persen tersebut sudah secara alami mengundurkan diri, untuk ikut lagi pada angkatan berikutnya. Itu sebabnya dari awalnya yang 15 orang mendaftarkan diri, di perjalanannya tersisa 10 katekisan.
Di penghujung retreat, aku mengumumkan hasil rapat majelis terkait dengan hasil percakapan gerejawi. Dan sesuai dengan hasil rapat kami, 10 katekisan itu layak dengan memuaskan untuk menjadi anggota sidi. Dan salah seorang dari kami kemudian mengucapkan selamat datang di GKI Sarua Indah, sekaligus menyampaikan harapan-harapan kami. Sebelumnya, sesudah sarapan pada pagi harinya, kami sempat membuat satu sesi dimana para katekisan tersebut kami minta mengungkapkan harapan mereka bila kelak menjadi anggota sidi. Semuanya berjanji akan terlibat aktif, dan seperti sudah diduga, semuanya ingin terlibat dalam komisi kespel.
Begitulah sekelumit kegiatan retreat kami. Aku harus jujur mengatakan aku sendiri deg-degan tatkala membaca buku panduan percakapan yang akan kami bawakan, mengingat banyak dan panjangnya butir-butir pertanyaan yang harus dijawab para katekisan.Aku deg-degan karena Amartya, putriku itu, adalah salah satu diantara katekisan dan ia dipercakapi oleh dua penatua lain. Dan alhamdulillah, ia rupanya dapat menjawab dengan baik pertanyaan-pertanyaan itu, seperti halnya juga dengan semua peserta katekisan itu.
Agak panjang cerita ini. Tetapi kiranya Mark Zuckerberg tetap bermurah hati sampai seribu tahun lagi. Sehingga ketika suatu saat ada orang yang ingin tahu apa yang kami kerjakan ini, anak-cucu dan cicit kita bisa menemukannya di sini.
Jaraknya hanya kira-kira 20 menit perjalanan dari GKI Sarua Indah, dan kurang lebih sedemikian pula jaraknya dari tempat tinggal sebagian besar katekisan ini. Namun, kami tetap mewajibkan mereka untuk menginap sebagai bagian dari proses akhir katekisasi mereka.
Pada hari Jumat sore dan malam harinya, kami mengundang Pdt Dr. Purboyo W. Susilaradeya dari GKI Pondok Indah untuk mengajar para katekisan, dengan tema, The Stewards of God. Dalam Bahasa Indonesia, ini berarti penatalayan Allah. Intinya, para katekisan tersebut diingatkan menjadi anggota sidi baru merupakan tahap awal menjadi penatalayan Allah. Dan kepada mereka sudah diamanatkan berbagai talenta, dan itu datangnya dari Tuhan. Dengan talenta itu mereka diharapkan mengembangkan diri di dalam dan dengan Tuhan.
Pada malam harinya, kami mencoba mempraktikkan doa labirin, pada saat mana para katekisan dan kami yang mendampingi mereka, masing-masing merenungkan arti panggilan hidup lewat doa dan perenungan. Kami cukup senang karena para remaja yang ikut ini tetap antusias dan tidak menunjukkan rasa lelah. Padahal sejak pagi hingga siang, mereka masih harus menyelesaikan pelajaran di sekolah masing-masing.
Keesokan harinya, kami membuka pagi dengan ibadah singkat. Aku mengambil nats Efesus 2:1-10 sebagai dasar perenungan, tentang kasih karunia Tuhan yang tidak terkira. Dan aku menceritakan sebuah kisah yang mudah-mudahan terpatri pada benak anak-anak remaja itu. Tentang seorang pelukis dan sahabatnya, yang pada suatu hari ia temukan galau, berjalan dengan letoy tanpa semangat dan selalu bermuram durja.
Lalu si pelukis itu mengatakan, ia akan melukis sahabatnya itu, yang letoy, galau dan selalu tak pernah berpengharapan. Dan ia menjanjikan akan menghadiahinya lukisan itu.
Lalu ketika lukisan itu sudah rampung, pelukis menepati janjinya. Dan ia menyerahkan lukisan itu kepada sahabatnya, yang letoy, galau dan selalu tak berpengharapan.
Alangkah terkejutnya sahabatnya tatkala ia membuka lukisan itu. Tampak di sana, bukan wajahnya yang letoy, galau dan tak berpengharapan yang ada. Sebaliknya, yang terlukis adalah wajahnya penuh senyum, ceria, bersemangat dan penuh pengharapan.
"Kamu menginginkan aku seperti yang kamu lukis ini bukan?" kata si sahabat kepada pelukis, yang dijawab dengan ya. Lalu si sahabat berkata, "Kalau begitu, aku akan berusaha begitu, dalam nama Tuhan. Bantu aku ya?"
Ibu Pdt Yerusa Maria pada hari kedua itu juga memberikan pengajaran tentang menjadi anggota jemaat yang bertanggung jawab dan peduli. Kami memang sengaja menekankan hal ini karena cukup umum di hampir sebagian besar gereja di Jakarta, para anak-anak itu begitu aktif ketika remaja, tetapi acap kali menghilang ketika sudah menjadi pemuda. Semoga para katekisan ini tidak.
Pada siang harinya, kami mengadakan percakapan gerejawi dengan masing-masing katekisan. Dua orang penatua mempercakapi dua katekisan. Percakapan tersebut lebih ditekankan pada mereview apa yang mereka pelajari selama katekisasi, seraya di sana-sini membangun dan menajamkan pemahaman mereka sebagai seorang pengikut Kristus. Terimakasih untuk para pendeta, yang sejauh ini sudah menyiapkan banyak bahan panduan tertulis untuk melakukan percakapan.
Lagi-lagi kami merasa gembira karena percakapan dengan para katekisan itu berlangsung dengan baik, lancar dan tidak terasa, satu setengah jam berlalu, dan kami seperti terhanyut dengan apa yang kami percakapkan. Sesekali aku seperti terlempar ke masa lalu, ketika aku juga seperti mereka, para katekisan itu, yang kadang grogi, kadang harus berpikir keras, untuk merumuskan apa yang kita imani (bukan hanya apa yang kita tahu) dalam kata-kata kita sendiri. Dan aku benar-benar merasa dikenyangkan oleh pemahaman, bahwa tiap generasi, tiap individu, punya cara dan ekspresinya sendiri untuk menyatakan iman percayanya, kendati dia dan aku mungkin ingin mengungkapkan hal yang sama.
Dari ibu pendeta dan dari daftar hadir mereka selama delapan bulan lebih mengikuti katekisasi, kami bersyukur mengetahui bahwa tingkat kehadiran mereka semua tidak ada yang dibawah 80 persen. Rupanya mereka yang sejak awal tidak yakin dapat memenuhi tingkat kehadiran 80 persen tersebut sudah secara alami mengundurkan diri, untuk ikut lagi pada angkatan berikutnya. Itu sebabnya dari awalnya yang 15 orang mendaftarkan diri, di perjalanannya tersisa 10 katekisan.
Di penghujung retreat, aku mengumumkan hasil rapat majelis terkait dengan hasil percakapan gerejawi. Dan sesuai dengan hasil rapat kami, 10 katekisan itu layak dengan memuaskan untuk menjadi anggota sidi. Dan salah seorang dari kami kemudian mengucapkan selamat datang di GKI Sarua Indah, sekaligus menyampaikan harapan-harapan kami. Sebelumnya, sesudah sarapan pada pagi harinya, kami sempat membuat satu sesi dimana para katekisan tersebut kami minta mengungkapkan harapan mereka bila kelak menjadi anggota sidi. Semuanya berjanji akan terlibat aktif, dan seperti sudah diduga, semuanya ingin terlibat dalam komisi kespel.
Begitulah sekelumit kegiatan retreat kami. Aku harus jujur mengatakan aku sendiri deg-degan tatkala membaca buku panduan percakapan yang akan kami bawakan, mengingat banyak dan panjangnya butir-butir pertanyaan yang harus dijawab para katekisan.Aku deg-degan karena Amartya, putriku itu, adalah salah satu diantara katekisan dan ia dipercakapi oleh dua penatua lain. Dan alhamdulillah, ia rupanya dapat menjawab dengan baik pertanyaan-pertanyaan itu, seperti halnya juga dengan semua peserta katekisan itu.
Agak panjang cerita ini. Tetapi kiranya Mark Zuckerberg tetap bermurah hati sampai seribu tahun lagi. Sehingga ketika suatu saat ada orang yang ingin tahu apa yang kami kerjakan ini, anak-cucu dan cicit kita bisa menemukannya di sini.
No comments:
Post a Comment