25 August 2015

Khotbah di PWK Hana


Tema: Diam di Rumah Tuhan
Nats: Mazmur 27:1-14

Selamat pagi Opa dan Oma. Apa kabar? Semoga berkat Tuhan tetap menyertai Opa dan Oma dan kita semua.

Pagi ini kita bersama-sama telah membaca Mazmur 27: 1-14, mazmur Raja Daud. Bacaan  ini mengajak kita merenungkan lagi tentang diri kita, tentang tujuan hidup kita, dan di lebih dari itu, mengenali lagi kebesaran dan kasih sayang Tuhan melalui kesaksian Daud.

Jika kita ditanya, apakah ada manusia yang tidak memiliki keinginan? Jawabannya jelas tidak. Semua kita yang masih bernafas pasti memiliki keinginan. Entah itu keinginan yang kita anggap biasa dan tidak istimewa, maupun keinginan yang kita anggap istimewa atau luar biasa.

Setiap manusia memiliki keinginan.


Anak kecil, barangkali keinginannya tidak terlalu rumit. Kalau dia lapar, dia minta makan. Kalau dia sedang bosan, dia menginginkan mainan. Kalau dia lelah, dia ingin tidur. Haus, dia minta susu. Dan seterusnya.

Namun, walaupun sederhana, anak kecil sering kali membuat repot karena keinginannya itu harus terpenuhi. Anak kecil seringkali tidak bisa membedakan mana keinginan yang baik mana yang tidak, mana yang masuk akal, mana yang konyol. Jika dia haus, dia pasti akan menuntut minum, tidak perduli apakah itu sedang berada di perjalanan, atau sedang berada di rumah orang lain, yang agak sukar untuk segera memenuhi permintaannya. Ada kalanya anak-anak kita lihat meraung-raung karena keinginannya tidak terpenuhi.

Demikianlah manusia yang bernama anak-anak. Keinginannya sederhana, tetapi bila tidak dituruti sering membuat onar. Pasti kita yang berada di ruangan ini tidak ada yang demikian bukan?

Makin beranjak dewasa, makin banyak juga keinginan kita. Ketika anak-anak, kalau diberi es krim langsung terima dan telan. Pokoknya enak saja, dingin dan nyus. Tetapi ketika sudah beranjak dewasa, dia mungkin mulai tahu bahwa es krim yang ini lebih enak. Atau es krim yang ini lebih berkelas, lebih bergengsi. Nanti kalau makan es krim yang ini, cowok-cowok akan menganggap kita cewek murahan. Begitu, misalnya, pikiran anak-anak remaja.

Makin beranjak dewasa semakin banyak keinginan kita. Orang Batak memiliki lagu yang terkenal, Alusi Au. Dalam lagu itu disebutkan bahwa manusia menginginkan paling tidak tiga hal. Pertama, hamoraon atau kekayaan. Kedua, hagabeon atau berkat, yang biasanya digambarkan dengan banyak anak atau banyak keturunan. Yang ketiga adalah hasangapon atau kemuliaan maupun kehormatan.

Tentu urut-urutannya bisa berbeda-beda. Ada yang lebih menginginkan kehormatan atau kemuliaan dulu. Setelah mulia, baru mengalirlah kekayaan. Ada yang menginginkan kekayaan dulu. Setelah banyak uang, nanti bisa membeli kemuliaan. Misalnya pergi ke Mekkah, dapat gelar. Atau membuat pesta adat yang mewah sehingga semua orang ikut merayakan kemuliaan yang diharapkan. Dan sebagainya.

Ini semua tentu adalah hal yang wajar. Siapa diantara kita yang tidak ingin memiliki uang banyak? Siapa diantara kita yang tidak ingin selalu diramaikan oleh anak-cucu? Siapa diantara kita yang tidak ingin dihormati, sehingga kalau, misalnya, kita pergi ke supermarket, semua orang menaruh hormat, lalu mau membawakan belanjaan kita?

Jadi, dapat dikatakan bahwa kita manusia, umumnya memiliki banyak keinginan.  Itu tidak dapat disangkal.

Itu yang pertama.

Yang kedua, dan ini yang sungguh membuat kita perlu merenung dari bacaan kita pagi ini ialah ternyata Daud, dalam mazmurnya kepada Tuhan, tidak meminta hal-hal yang kita sebutkan tadi kepada Tuhan.  Ia tidak meminta kekayaan, tidak meminta keturunan dan tidak meminta kemuliaan. Mungkinkah karena sebagai raja Israel, sebagai salah satu raja terbesar Israel, ia sudah memiliki itu semua sehingga ia tidak perlu memintanya lagi?. Ia sudah kaya. Ia dihormati. Anak-anaknya banyak. Tetapi ternyata baginya ada yang lebih berharga dan lebih penting daripada itu.

Bacaan kita ini menunjukkan bahwa ternyata kekayaan dan kemuliaan bukan jaminan bagi manusia untuk dapat hidup tenang dan bersukacita.  Dengan uang dan kekuasaan banyak yang mengira hidup kita akan mulus dan tinggal bersenang-senang. Tetapi pengalaman Daud mengatakan tidak demikian. Dengan segala kekayaan dan kemuliaannya Daud tetap mengalami perasaan tidak aman, Daud memiliki musuh, Daud merasa terancam. Dengan uang dan kekayaannya ternyata ia tidak dapat membeli kedamaian, ia tidak dapat membeli kasih sayang, persahabatan dan kepedulian.

Oleh karena itu, sebagaimana kita baca dalam Mazmur 27:4, Daud mengatakan bahwa “ Satu hal  telah kuminta  kepada TUHAN, itulah yang kuingini: diam di rumah TUHAN seumur hidupku,  menyaksikan kemurahan TUHAN dan menikmati bait-Nya.”

Ya, hanya satu keinginan Daud yaitu diam di rumah Tuhan seumur hidupnya, menyaksikan kemurahan Tuhan dan menikmati baitNya. Ini merupakan keinginan Daud yang berulang kali ia sebutkan, termasuk bila kita membaca  Mazmur 122:1: “Aku bersukacita, ketika dikatakan orang kepadaku: ‘Mari kita pergi ke rumah TUHAN.’”  Bagi Daud, rumah Tuhan adalah rumah penuh sukacita yang selalu menjadi kerinduannya.

Tentu kita patut bertanya, apakah rumah Daud tidak menyediakan sukacita? Bukankah ia raja, bisa membangun rumah sedemikian rupa, seperti apa pun yang dia mau? Bukankah sebagai raja dia dapat membuat rumah yang, misalnya, dengan hanya sekali tekan bel, makanan yang paling kita sukai sudah terhidang di meja? Bukankah dia bisa mengundang penyanyi paling terkenal di Israel untuk menghibur dirinya setiap hari? Bukankah dia bisa mengundang koki paling tersohor di Israel untuk memasakkan masakan paling ia sukai setiap hari?

Jika itu yang membuat dia bahagia, sudah pasti itu akan dia lakukan. Atau, mungkin saja dia sudah melakukan itu, tetapi ia tetap merasa tidak bahagia, tidak sejahtera dan merasa tidak aman. Oleh karena itu ia merindukan rumah Tuhan.

Jika kita kembali ke bacaan kita, tentu kita akan bertanya, seperti apakah suasana di rumah Tuhan itu yang menyebabkan Daud menginginkan diam di sana seumur hidupnya?

Daud membayangkan rumah Tuhan adalah tempat dimana tidak ada rasa takut lagi. Tidak ada rasa gemetar (Ayat 1). Di rumah Tuhan kita tidak memiliki musuh (ayat 2). Penjahat-penjahat tergelincir dan dijauhkan dari rumah Tuhan. Di rumah Tuhan, hanya Tuhan yang kita percayai dan kita andalkan (ayat 3) dan itu sudah cukup. Di rumah Tuhan, kita terlindung (ayat 5) bahkan diangkat ke tempat tinggi. Di rumah Tuhan kebaikan-kebaikan Tuhan terus mengalir (ayat 13).

Dengan kata lain, rumah Tuhan yang dibayangkan oleh Daud bukan rumah yang hanya menggambarkan fisik atau materi. Daud tidak menggambarkan rumah Tuhan dengan kaca jendelanya yang berhiaskan emas dan mutiara, tidak menggambarkan tiang-tiangnya yang menjulang ke angkasa. Tidak menggambarkan lantainya yang mengilap sehingga kita dapat berkaca sambil berjalan.

Rumah Tuhan yang dibayangkan oleh Daud lebih menggambarkan suasana, perasaan dan kesadaran. Ia lebih menggambarkan apa yang kita alami ketimbang apa yang kita miliki. Dengan singkat, dapat kita bayangkan bahwa rumah Tuhan yang dibayangkan Daud adalah rumah yang penuh damai sejahtera yang dari Tuhan, tempat dimana kebaikan-kebaikan Tuhan tidak pernah berhenti, melainkan terus mengalir, terus bertumbuh, terus berbuah.

Sekarang saya ingin masuk ke bagian ketiga, bagian akhir dari renungan pagi ini.

Jika kita bersetuju dengan Daud, bahwa kita merindukan rumah Tuhan, rumah yang penuh damai sejahtera itu, maka tentu kita harus mencarinya. Dimanakah rumah Tuhan yang dirindukan Daud itu? Apakah kita bisa melihatnya, dan bisa memasukinya?

Pasti diantara kita banyak yang berkata bahwa rumah Tuhan adalah rumah Bapa di Sorga. Rumah kekal yang akan kita tuju. Dan kita akan mencapainya bila kita sudah dipanggilNya kesana.

Ya, tentu, rumah Bapa di sorga adalah rumah Tuhan. Rumah yang menjadi keinginan kita untuk tinggal selamanya. Seperti dikatakan oleh lagu NKB 188:1:

Tiap langkahku diatur oleh Tuhan 
Dan tangan kasihNya membimbingku 
Di tengah badai dunia menakutkan
 Hatiku tetap tenang teguh
    
Tiap langkahu diatur oleh Tuhan 
Ke tempat tinggiku di hantarnya
 Hingga sekali nanti aku tiba 
Di rumah Bapa sorga yang baka.

Rumah Bapa di Sorga adalah rumah Tuhan tempat kita ingin berdiam selamanya. Ia rumah yang telah disiapkan bagi kita, rumah yang baka, rumah yang kekal. Di sana tidak ada lagi derita (azab), badai kabut lenyap, pagi ceria, bersama Tuhan selamanya, bahagia tiada bertara dan damai tetap. (Di Seberang Sana, NKB 150).

Tetapi itu adalah rumah Tuhan ‘di seberang sana,’ yaitu rumah Tuhan yang akan kita tempati bila kita sudah dipanggilNya kelak. Sedangkan Daud, tidak hanya merindukan rumah Tuhan kekal yang nanti akan kita tempati di Surga, tetapi raja Daud merindukan rumah Tuhan dimana ia dapat berdiam selama dia masih hidup, seumur hidupnya. Itu berarti rumah Tuhan itu adalah rumah di bumi ini, tempat kita berada.

Jika demikian, apakah yang dimaksud dengan rumah Tuhan?

Rumah Tuhan tidak lain adalah rumah dimana Tuhanlah yang menjadi pemiliknya dan yang berdiam di dalamNya. Rumah Tuhan adalah rumah dimana damai sejahtera Tuhan terpancar, dimana kasih karuniaNya menjadi kenyataan sehari-hari. Rumah Tuhan adalah rumah dimana sukacita yang datang dari Tuhan berlimpah di dalamnya karena sumber dari kasih dan sukacita itu memang berada di dalamnya.

Hari Minggu lalu, tema khotbah di GKI adalah “Merayakan Rumah Allah, Merayakan Kehidupan Bersama.” Di GKI Sarua Indah yang berkhotbah adalah Pendeta Yedi Otniel Lilina dari GKI Sunter Mas. Beliau mengatakan, banyak orang Kristen datang ke gereja dengan wajah ditekuk, dan pulangnya juga wajahnya tetap cemberut. Nah, menurut Pdt Yedi, itu berarti orang tersebut tidak mengalami rumah Tuhan ketika memasuki gereja. Ia tidak berjumpa dengan Tuhan dan oleh karena itu ia tidak mendapatkan sukacita dari Tuhan. Atau memang ia tidak mau melepas dan menyerahkan segala dukacitanya kepada Tuhan. Dia pegang terus, sehingga ia tidak mengalami sukacita dari Tuhan.

Jika kita baca Mazmur 133:1-3, Daud menggambarkan bagaimana suasana di rumah Tuhan yang dia bayangkan. Berkata Daud, bahwa, “Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun!  Seperti minyak yang baik di atas kepala meleleh ke janggut, yang meleleh ke janggut Harun dan ke leher jubahnya.  Seperti embun gunung Hermon yang turun ke atas gunung-gunung Sion. Sebab ke sanalah TUHAN memerintahkan berkat, kehidupan untuk selama-lamanya

Rumah Tuhan bagi Daud adalah rumah dimana kita merasa senang karena kita rindu untuk berjumpa dengan Tuhan. Pertemuan dengan Tuhan membuat kita dengan lega menumpahkan keluh-kesah, kesedihan maupun kerinduan kita. Baik dalam doa, dalam pujian maupun dalam hening ketika kita menikmati saat-saat yang teduh. Juga tak kalah penting, dalam persekutuan dengan suadara-saudara seiman, yang rukun dan saling peduli.

Itulah rumah Tuhan. Rumah dimana kita bersama-sama dengan Tuhan tetapi juga bersama-sama dengan saudara-saudara, sehingga keindahannya, kata raja Daud, seperti embun gunung Hermon yang lembut dan sejuk. Di rumah Tuhan, kata Daud, Tuhan mencari wajah kita, dan pada saat yang sama kita mencari wajah Tuhan (mazmur 27:8).  Di rumah Tuhan kita diterima dan tidak ditolak. Di rumah Tuhan kita disambut Tuhan (ayat 10). Di rumah Tuhan semua orang melihat kebaikan Tuhan.

Apakah PWK Hana ini adalah juga rumah Tuhan? Apakah Opa dan Oma setiap hari melihat, merasakan dan menyaksikan kebaikan Tuhan di sini, Opa dan Oma lainnya sebagai saudara-saudara dalam Tuhan yang saling rukun dan merasakan kasih sukacita yang dari Tuhan karena Tuhan hadir bersama Opa dan Oma di sini?

Pemazmur mengatakan, carilah wajahKu Tuhan, maka wajahMu pun kucari. Marilah kita mencari wajah Tuhan. Marilah kita datang ke hadapannya. Bersama-sama. Amin.

Ciputat, 25 Agustus 2015
Pnt Eben Ezer Siadari

No comments:

Post a Comment