06 September 2015

Kalau Aku Jadi Eforus


Kalau aku jadi eforus, atau bishop, atau ketua sinode, salah satu revolusi yang akan aku canangkan adalah mengembalikan suasana ibadah, persekutuan dan pemahaman alkitab ke suasana sekolah minggu. Dan suasana sekolah minggu yang kumaksud bukan sekolah minggu zaman dulu ketika gurunya mengajar membawa-bawa belebas atau rotan. Tetapi suasana sekolah minggu zaman sekarang, ketika guru-gurunya senang dipanggil Kak, dan anak-anak muridnya bebas memeluk dan menyandarkan kepalanya di bahu mereka.

Tadi aku bertugas mendampingi guru-guru sekolah minggu kelas besar. Dan ketika itulah gagasan itu terbersit dalam pikiranku: mengapa spontanitas dan sikap apa adanya anak-anak itu tak kita hidupkan lagi dalam ibadah kita? Mengapa kita melupakan apa yang dikatakan Yesus dulu, bahwa biarkan anak-anak itu datang kepadaku karena mereka yang empunya kerajaan sorga?


Kelas itu berisi tujuh murid, tiga perempuan empat laki-laki, diajar oleh Kak Joyce dan Kak Tri. Kelas besar adalah anak-anak yang duduk di bangku SD kelas empat sampai kelas enam. Pada usia ini, setahuku, adalah masa dimana anak-anak begitu haus akan pengetahuan dan pencapaian.

Tetapi tadi pagi, sejak ibadah dimulai, ada seorang anak, namanya Daniel, yang tampaknya kehilangan antusiasme. Ia sudah pasang muka cemberut mulai dari masuk lewat pintu dengan tergesa-gesa hingga duduk di bangkunya. Tangannya ditopangkan ke dagunya.

"Kepalamu sepertinya beratnya berton-ton," kata Kak Joyce. Ia bergeming.

Mula-mula seisi kelas diminta menebak kenapa Daniel galau. Semuanya bicara, mulai dengan cara lembut hingga keras. Daniel masih tetap menekuk wajahnya.

Lalu mereka bernyanyi membentuk lingkaran, Daniel berada di tengah. Anak-anak itu kembali bernyanyi menyemangati Daniel. kemudian mulai tersenyum.

Yang mengesankan dan menurutku masih kurang dianggap penting dalam ibadah maupun persekutuan-persekutuan kita, adalah ketika Kak Tri meminta anak-anak itu maju ke depan, menceritakan apa yang selama seminggu yang lewat yang dirasakan anak-anak itu sebagai perbuatan Tuhan yang paling membuat mereka bersukacita.

Suasana kelas menjadi riuh. Ada yang sudah tak sabar ingin menjawab. Dan aku yakin, bila masing-masing kita yang dewasa ini juga diberi kesempatan bercerita tentang hal semacam itu, bukankah kita bersemangat juga? (Aku sudah pernah mencoba hal ini di PA dan di ibadah remaja, dugaanku benar semua kita ingin bercerita, walaupun pada awalnya semuanya malu-malu).

"Dikasih nafas Kak," kata seorang anak.

"Terpilih ikut ke kejuaraan taekwondo," kata anak yang lain.

"Dapat nilai bagus ujian sekolah," seorang anak perempuan berkata lembut.

Kak Joyce dan Kak Tri kemudian mengubah pertanyaan: apa yang selama seminggu yang lalu yang kamu perbuat dan kamu anggap tidak Tuhan sukai. Kembali anak-anak itu riuh. Ada yang mendekati temannya dan berbisik-bisik, mungkin bertanya atau bertukar info tentang apa pengalaman masing-masing.

"Menjitak adik," kata salah seorang.

"Memukul orang," kata seorang anak berperawakan tinggi besar.

"Berantem sama kakek," kata salah satunya.

Yang mengagumkan, semua jawaban itu disampaikan bukan dengan malu-malu atau terpaksa. Mereka percaya diri mengatakannya, walaupun satu dua teman mereka menertawakan jawaban yang dianggap aneh.
Dari manakah keberanian anak-anak itu berasal? Jauh sekali berbeda dengan ketika kami masih anak-anak, yang apabila diperbolehkan, ingin sekali bersembunyi di bawah kursi agar tidak disuruh-suruh maju ke depan?

Lalu Kak Joyce dan Kak Tri meminta mereka untuk melakukan doa pengakuan dosa dan mohon pengampunan. Seorang anak diminta maju ke depan untuk memimpin doa itu.

"Berapa lama kak doanya?" tanya si anak kepada Kak Joyce dan Kak Tri sebelum memulai doa hening.

"15 detik," kata Kak Joyce.

Langsung ada anak-anak itu yang protes, "Kok sebentar banget Kak?"

Sementara anak yang lain menimpali pula, "Lho, kok kamu minta doa panjang, memangnya kamu banyak dosa ya?"

Pagi tadi Kak Joyce yang berkhotbah, mengambil nats bacaan dari 1 Samuel 6: 1-13. Tentang bagaimana Daud yang bertubuh sedang-sedang saja diurapi jadi raja. Dan bukan Eliab yang bertubuh besar, karena "bukan yang dilihat manusia dilihat Allah, manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati."

Aku termasuk yang tekun menyimak khotbah itu karena Kak Joyce benar-benar ingin membawa anak-anak itu ke suasana keluarga Daud ketika itu. Daud yang bungsu hampir dilupakan atau pura-pura dilupakan oleh keluarganya. Tetapi Tuhan memperhitungkannya. ("Daud itu yang warnanya hijau ya Kak?," kata seorang anak melucu. "Bukan, itu Daun," celetuk Kak Joyce, tanpa marah walau diganggu).

"Jangan bilang kalian kecil....." kata Kak Joyce kepada anak-anak itu.

Sekolah minggu itu usai setelah berlangsung kira-kira satu setengah jam. Tetapi aku masih tetap membayangkan, bagaimana bila suatu kali nanti ibadah kami juga disemarakkan dengan orang-orang yang diberi kesempatan bercerita ini itu tentang penyertaan Tuhan dalam hidupnya? Dapatkah kami orang-orang dewasa ini menjawabnya dengan spontan, sederhana, jujur, apa adanya, tidak malah memanfaatkannya justru dengan khotbah yang menggurui pula?

Terimakasih untuk Kak Joyce dan Kak Tri. Aku tak mungkin jadi eforus, bishop atau ketua sinode. Tapi aku benar-benar belajar banyak hari ini.

No comments:

Post a Comment