14 October 2015

Khotbah di PS Ekklesia


Pagi tadi saya mendapat tugas membawa renungan pada acara gathering keluarga Paduan Suara Ekklesia GKI Sarua Indah. Berikut ini selengkapnya draft naskah renungan yang saya siapkan tiga hari sebelumnya.

Keajaiban dalam Gerak Lambat

Nats: Roma 15: 22-32

Ada kalimat mutiara dalam Bahasa Inggris yang berkata, you can close your eyes to the realities, but you can't close your eyes to the memories. Kita dapat menutup mata terhadap kenyataan, tetapi kita tidak dapat menutup mata pada kenangan.

Saya bisa menutup mata agar tidak melihat pohon-pohon dan daun-daun di sekitar kita pada saat ini. Tetapi saya tidak bisa menutup mata terhadap kenangan ketika, misalnya, dulu di masa kecil, saya dimarahi oleh ayah karena malas-malasan menyapu halaman yang penuh oleh daun-daun dari pohon di depan rumah. Bahkan mungkin, tambah saya menutup mata dari pohon-pohon ini, semakin jelas terbayang kenangan tatkala dimarahi itu.


Hari Jumat lalu, seorang ekonom yang yang cukup terkenal di tahun 1990-an, Pak Pande Radja Silalahi, meninggal dunia. Dan karena saya dulu cukup sering mewawancarai beliau, sering berjumpa  dan terakhir kami sempat bekerja sama menulis buku putih tentang Yayasan Trisakti, saya mengungkapkan rasa duka dengan menulis status di BB saya, "Selamat jalan Pak Pande Radja Silalahi."


Meninggalnya beliau itu memang terasa sangat mendadak.

Tidak berapa lama kemudian, Pak Amir Tambunan mengirimkan BBM kepada saya  menanyakan apakah saya dekat dengan Pak Pande. Lalu Pak Amir bercerita lewat BBM-nya itu, bahwa Pak Amir dahulu adalah teman satu kos Pak Pande. Pak Amir bercerita banyak tentang bagaimana Pak Pande dulu semasa mahasiswa, tergolong mahasiswa pintar, pernah ditinggal pacarnya yang boru Batak, dan kemudian terlambat kawin, sampai akhirnya jatuh cinta dan menikah dengan boru Tionghoa. Bahwa Pak Pande mendapat beasiswa karena pintarnya, sampai meraih gelar doktor ekonomi dari Universitas Kobe, Jepang dan bekerja di CSIS, salah satu lembaga think tank terkemuka di Indonesia.

Ini adalah contoh betapa kita tidak bisa menutup mata terhadap kenangan. Mendengar nama Pak Pande Radja, kenang-kenangan atas beliau di benak Pak Amir langsung hidup dan bermunculan. Dan kita semua pasti juga pernah merasakan hal serupa.

Sering dikatakan bahwa "Hidup hanya dapat dimengerti dan dimaknai dengan melihat ke belakang tetapi harus dijalani ke depan." Dengan melihat ke belakang, dengan melihat apa yang sudah kita jalani, kita memaknai kehidupan kita dan memberikan makna kepadanya. Namun, pada saat yang sama, kita mengatakan, bagaimana pun kita memaknai hidup yang sudah berjalan itu, kita harus terus melangkah ke depan.

Paulus Sebagai Contoh

Sebagai orang beriman tentu kita bertanya, bagaimana kita memaknai hidup yang sudah berlalu itu, untuk kemudian melangkah ke depan? Bukankah masa lalu itu tidak boleh memenjara kita, seperti istri Lot yang karena terus-menerus melihat ke masa lalu sehingga menjelma jadi batu?

Pagi hari ini kita memiliki kesempatan merenung dan bercermin pada Paulus dan perjalanan hidupnya. Pagi hari ini kita diajak untuk membayangkan, bagaimana seandainya kita menjadi Rasul Paulus, dan mencoba melihat ke belakang, melihat apa yang sudah ia kerjakan dan Tuhan kerjakan bagi dirinya.

Surat Paulus yang ditujukan ke Jemaat Roma, yang kita baca pagi ini, ditulis dari Korintus. Roma adalah kota multikultur, mirip dengan GKI Sarua Indah, diisi oleh berbagai latar belakang jemaat. Jemaat Roma terdiri dari orang Yahudi dan Non Yahudi.

Jemaat Roma sudah lama berdiri, diperkirakan jauh sebelum Paulus melakukan pelayanan penginjilan. Masih menjadi perdebatan apakah Jemaat Roma itu didirikan oleh Petrus atau sudah ada sebelum itu. Yang pasti, Jemaat Roma bukan jemaat yang dibangun oleh Paulus. Dan itu tersirat dari isi surat Paulus yang mengatakan, bahwa adalah suatu kehormatan baginya mengabarkan Injil di tempat-tempat dimana Kristus belum dikenal orang (15:20). Dengan mengatakan demikian, ia menegaskan bahwa bila pun ia ke Roma, kunjungannya bukan untuk penginjilan, karena jemaat itu bukan jemaat yang tidak lagi mengenal Injil.

Walaupun demikian, sangat jelas terlihat betapa besar kerinduan Paulus singgah ke Roma. Bahkan bila kita agak mundur ke Roma 1, hal yang sama sudah ia katakan. Keinginannya untuk ke Roma sudah demikian melimpah ruah di dalam hatinya. Apalagi ia telah mendengar bagaimana bersemangatnya jemaat Roma dalam beriman kepada Kristus. Ia juga memiliki beberapa teman yang karib di sana, seperti Priska, Akwila, Epenetus, Maria, Androkinus dan Yunias dan banyak lagi.

Lebih jauh, dari bacaan kita pagi hari ini kita juga mengetahui bahwa Paulus sebetulnya agak terdesak dan kepepet, karena  sudah merasa "tidak dibutuhkan" lagi di Korintus sehingga ia mengatakan "sudah tidak ada tempat" (15:23) lagi di sana. Oleh karena itu ia harus pergi, dan ia sudah menyusun rencana. Ia bercita-cita mengabarkan injil ke Spanyol dan dalam perjalanan ke Spanyol itu, ia akan singgah di Roma. Ia bahkan berharap jemaat Roma lah yang akan membantu dan menunjukkan jalan ke Spanyol. Di masa itu, dalam pekabaran Injil, Spanyol dianggap berada di ujung dunia. Ia merupakan titik terjauh dari jangkauan mengabarkan Kekristenan.

Dalam perjalanan waktu, ternyata Paulus tidak pernah lagi singgah ke Roma untuk kemudian mengabarkan injil Kristus ke Spanyol. Berkali-kali ia mengatakan kepada jemaat di Roma tentang keinginannya singgah di sana dan akan melanjutkan perjalanan ke Spanyol, tetapi itu tidak pernah terwujud. Betapa pun ia telah medoakannya, merencanakannya secara terperinci, betapa pun demikian besar hasrat hatinya ke Roma, ternyata tidak dapat terlaksana. Ia dapat dikatakan gagal.

Rencana Tuhan Melampaui Rencana Manusia

Dari kisah Paulus ini saya belajar tentang apa yang saya sering dengar tetapi sering pula kurang memahaminya dalam hidup sehari-hari. Dari bacaan kita hari ini saya mulai melihat pemahaman baru tentang kata "melampaui." Kita sering mendengar kata-kata bahwa berkat dan karya Tuhan itu melampaui akal dan pikiran, tetapi seringkali sulit untuk menghayatinya karena tidak menemukan contoh yang tepat. Dan kisah Rasul Paulus kali ini adalah contoh yang baik tentang kata melampaui itu. Beyond, dalam Bahasa Inggris.

Rencana Paulus untuk singgah di Roma memang tidak terwujud, tetapi keinginannya agar injil Kristus disebarkan ke 'ujung dunia' Spanyol, dikabulkan oleh Tuhan melebihi apa yang ia rencanakan. Paulus tidak pernah tiba di Spanyol. Ia kemudian terdampar di penjara. Namun justru karena di penjara itu, ia memiliki kesempatan menulis surat kepada berbagai jemaat, dan oleh surat-surat itulah hingga kini  jutaan orang telah terberkati, menjadi orang beriman di seluruh dunia. Ajaran gereja sebagian besar dialaskan pada surat-surat yang dikirimkan Paulus. Dengan demikian, Kekristenan tak lagi hanya tiba di Spanyol tetapi juga ke mana-mana, termasuk ke GKI kita, GKI Sarua Indah.

Dalam kata-kata penulis renungan di Saat Teduh, yang menjadi sumber renungan kita pada pagi hari ini,  "Rencana A Paulus adalah merintis gereja-gereja di Spanyol. Ia terdampar di penjara. Rencana B-nya: Ia menulis Surat Efesus, Filipi, Kolose, dan Filemon di penjara, dan berjuta orang telah terberkati selama berabad-abad."

Sekali lagi,  rencana Tuhan melampaui (beyond) rencana Paulus dan karena itu pula, rencana Paulus disempurnakan oleh rencana Tuhan. Keinginan Paulus untuk mengabarkan injil di Spanyol diwujudkan oleh Tuhan dengan cara yang melampaui akal dan pikiran Paulus.

Keajaiban dalam Hidup Sehari-hari
Alkitab penuh dengan kesaksian bagaimana Allah berkarya melampaui dan menyempurnakan rencana manusia. Rencana Rut sebetulnya sederhana. Ia ingin hidup tenang dengan suaminya di Moab di tanah kelahirannya sebagai orang Moab. Tetapi rencana Tuhan melampaui rencananya. Ketika suaminya meninggal, ada skenario baru yang mungkin dulu tidak pernah terpikirkan olehnya. Ia memilih ikut pindah ke Israel mengikuti ibu mertuanya, Naomi, dan kelak, dari keturunan Rut lah lahir Yesus.

Iman dan komitmen Rut menjadi inspirasi jutaan orang sampai sekarang. Di mana-mana di komunitas Kristen, masih terus saja ada yang bernama Rut.

Contoh lain, Yusuf, anak Yakub, semasa kecil bermimpi akan menjadi raja. Ia ditertawakan bahkan dibully oleh saudara-saudaranya karena itu. Jika ia tidak setia, mungkin ia akan frustrasi. Apakah mungkin ia menjadi raja, sedangkan saudara-saudaranya tidak mendukungnya, bahkan membuangnya, menjualnya sehingga ia menjadi pembantu rumah tangga di Tanah Mesir? Tetapi Tuhan membuat rencana yang melampaui rencana Yusuf. Ia bekerja di rumah Potifar dan kemudian selanjutnya, seperti yang kita tahu, ia menjadi orang kedua di Mesir.

Kisah Paulus, Rut dan Yusuf adalah kisah tentang keajaiban yang Tuhan hadirkan dalam hidup umatNya. Tetapi kita hanya dapat memaknainya sebagai sebuah keajaiban, apabila kita menoleh ke belakang dan menghayati bahwa tidak sedetik pun hidup kita luput dari penyertaan Tuhan. Keajaiban yang dialami Paulus, Rut dan Yusuf adalah keajaiban dalam gerak slow motion, yang hanya dengan kesabaran, kesetiaan dan ketaatan kepada Tuhan lah kita dapat memaknainya sebagai sebuah keajaiban.

Banyak orang Kristen yang tidak puas-puasnya dengan gerejanya sendiri lalu pergi ke gereja lain, ingin melihat keajaiban Tuhan lewat Kebangunan Rohani, Kebaktian Penyembuhan, Malam Penuh Mujizat dan lain-lain. Acara itu dikemas sedemikian rupa, untuk membangun Tuhan hadir secara instan dan berkarya secara instan pula. Melakukana hal-hal yang tidak mungkin menjadi mungkin.

Manusia sering lupa, bahwa hidup kita sendiri inilah yang sebetulnya keajaiban yang telah dihadirkan oleh Tuhan kepada kita masing-masing, melalui pergumulan hidup, suka dan duka, dibenci dan dicinta, memiliki dan kehilangan, tertawa dan menangis.

Kita sering menemui bahwa banyak sekali jemaat yang terkesima pada janji-janji kemenangan, kesuksesan, berkat berlimpah-limpah, keajaiban dan penyembuhan luar biasa. Tetapi sebetulnya, bila kita beriman dengan tekun, bila kita memiliki hubungan yang akrab dengan Tuhan, pastilah kita mengerti,  bahwa, mukjizat, tidak selalu berupa sesuatu yang  wah, harus dahsyat, harus serba mencengangkan dan instan.

Saya ingat, Pendeta Martin Sinaga, dosen Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, pernah mengutip skripsi mahasiswanya, bernama Ivonne Maranatha, yang meneliti tentang perbedaan teologi gereja-gereja mainstream (anggota PGI) dengan Kalangan Kharismatik Pentakosta (KKP).

Menurut Pendeta Martin, mengutip hasil penelitian dalam skripsi tersebut,  kebanyakan orang memahami mukjizat sebagai sesuatu yang luar biasa, tapi yang perlu kini ialah mengajak jemaat untuk dapat mulai memberi makna terhadap segala peristiwa yang dialami sepanjang kehidupan, karena hidup itu sendiri adalah mukjizat dan anugerah dari Allah.

Itulah saya kira sebabnya, di jemaat GKI di mana pun acara-acara seperti Kebaktian Kebangunan Rohani, Malam Penyembuhan, Ibadah Mujizat dan sejenisnya, kurang berterima dan kurang mendapat sambutan. Hal itu juga dapat kita saksikan, misalnya, ketika GKI merancang pekerjaan dan program-programnya, kita selalu diajak untuk realistis, membumi, tidak dipesona oleh bungkus yang wah,  karena kita meyakini Allah bekerja dan melakukan mujizatnya  di dunia, bersama-sama kita manusia.

Dengan demikian, gereja tidak lagi semata harus selalu bicara tentang Surga dan hari penghakiman terakhir, tentang kita sebagai bangsa pilihan dan umat agama lain kelas dua, tentang berkat yang berlimpah-limpah yang bakal dicurahkan dari tingkap-tingkap surga. Tetapi gereja justru menganjurkan hal-hal yang sederhana, yang bisa kita lakukan dengan keterbatasan dan kekurangan kita. Tidak membuang sampah sembarangan, mengurangi penggunaan plastik, lebih memperhatikan efektivitas pemakaian listrik dalam gereja dan sejenisnya. Sebab kita tahu, bila kita tidak membuang sampah dengan sembarangan, bila kita menjaga kelestarian lingkungan, jika kita sadar menggunakan energi seperlunya, kita akan mewariskan bumi yang lebih baik kepada anak cucu kita. Dengan demikian, anak dan cucu kita kelak akan menghayatinya sebagai keajaiban karya Tuhan yang Dia kerjakan melalui kita.

Akrab dengan Tuhan
Hari ini kita berkumpul karena Ibu Nur berulang tahun. Ibu Eni juga saya dengar baru merayakan ulang tahun.  Saya belum sempat menanyakan ulang tahun keberapa dan menurut tradisi orang modern, tidak elok menanyakan umur seorang perempuan. Tetapi kalau menanyakan tanggal lahir dan tahun kelahirannya boleh kan?

Saya meyakini Ibu Nur dan Ibu Eni, dalam perjalanan hidupnya yang sudah sekian panjang ini, telah mengalami bagaimana rencana mereka diwujudkan oleh Tuhan  bahkan disempurnakan Tuhan, seperti yang dialami oleh Paulus, Rut dan Yusuf.

Hari Jumat lalu, istri saya menulis status di BB-nya, "Kau Selalu Punya Cara." Di kantor ketika saya melihatnya, saya tersenyum-senyum sendiri. Lalu saya ingat, tadi pagi sebelum berangkat ke kantor --karena saya masuk siang -- saya sudah memenuhi permintaannya memetik mangga di sebelah rumah. Agak susah karena harus pakai bambu yang panjang dan pohon mangga itu banyak semutnya, tetapi boleh lah saya berbangga sudah jadi pahlawan baginya. Juga saya sudah mencuci piring sendiri. Biasanya sehabis makan, saya menggeletakkan saja piring saya di westafel cucian piring dan ini selalu membuat dia kesal. Jadi ketika saya mulai mencuci piring sendiri, dari belakang dia berkata, "Pinteeeeeer....." Makanya dalam hati saya berbunga-bunga membaca status BB-nya itu, Akhirnya istri saya itu mengakui juga bahwa saya punya banyak cara untuk membuat dia senang.

Makanya malam harinya ketika sudah tiba di rumah, saya pura-pura bertanya, "Siapa sih yang kamu maksud selalu punya cara di status BB-mu?" Istri saya langsung tertawa tetapi dengan nada ngenyek. "Lu ge-er ya? Kamu pikir kamu? Itu judul lagu Eklesia yang sedang kami latih.... Ge-er jangan dipelihara...."

Ketika sebagai orang beriman kita mengakui bahwa "Tuhan Selalu Punya Cara" itu bermakna bahwa kita mengakui betapa berkuasanya Tuhan tetapi pada saat yang sama adalah juga cermin keakraban dengan Dia sehingga kita juga mengimani bahwa cara-cara Tuhan adalah cara-cara yang dekat dengan manusia, bahwa Tuhan juga bekerja dengan memakai kita dan bersama-sama kita.

Tuhan tidak berada beribu-ribu kilometer di atas kita. Tuhan tidak  berada ratusan juta tahun di belakang atau di depan kita. Tetapi ia bersama-sama kita setiap hari, setiap detik hidup kita. Dalam perjalanan kita. Ketika kita jatuh. Ketika kita berjaya. Ketika kita sedih. Ketika kita senang. Ketika kita memiliki. Ketika kita kehilangan.  Dan kita selalu meyakini bahwa rencana Tuhan adalah rancangan damai sejahtera. Rencana yang menyempurnakan. Dan karena itu pula Paulus dengan yakin dapat berkata, "Bagiku Hidup adalah Kristus dan Mati adalah Keuntungan (Filipi 1:21-24).

By the way Pak Amir, terimakasih untuk ceritanya tentang sekelumit riwayat hidup Pak Pande Radja Silalahi. Saya baru tahu kalau Pak Pande Radja itu sampai tiga kali tes masuk ke ITB dan tiga-tiganya gagal. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kecewanya beliau ketika itu. Sebab, orang Batak dari Sumatera di masa itu, saya kira cita-citanya cuma ada dua: ke Akademi Militer di Magelang atau ke ITB di Bandung. Tetapi Pak Pande tidak menganggap dunia ini kiamat karena itu. Dan selanjutnya kita tahu, rencana Tuhan melampaui rencananya. Beliau meraih gelar doktor di bidang ekonomi dari Jepang, menjadi rektor Universitas Parahiyangan dan menjadi salah seorang ekonom yang paling didengar di masanya.

Kisah Pak Pande itu saya ceritakan kepada putri kami Amartya, untuk mengatakan kepadanya bahwa jangan takut gagal, jangan kecewa bila gagal. Jika kita terus meminta bimbingan Tuhan, setia pada perintahNya dan menundukkan rencana kita pada rencana Tuhan, maka hasilnya akan melampaui akal dan pikiran manusia.

Amin.

No comments:

Post a Comment