14 November 2015
Berlatih Lektor Sambil Menyetrika
Tadi pagi Irna Kurniarini Siadari kembali mendapat giliran menjadi petugas lektor I. Ia bertugas membacakan I Samuel 4-20 yang menjadi bacaan pertama pada ibadah Minggu itu.
Bacaan lainnya adalah Ibrani 10:1-25 dibacakan oleh Pnt Meilina Manurung, dan Markus 13:1-8 dibacakan oleh Pdt Yerusa Maria Agustini yang juga berkhotbah. Sedangkan Mazmur tanggapan kali ini tidak diambil dari Mazmur, melainkan memakai doa Hana pada 1 Samuel 2:1-10. Yang bertugas membacakannya Ibu Effi Kurnia.
Bertugas sebagai lektor bagiku sering menghadirkan ketegangan tersendiri. Takut salah, takut tak jelas, takut tak terdengar dan banyak takut-takut lainnya. Walaupun sudah pernah mengikuti pembinaan/pelatihan lektor, tetap saja ada rasa dagdigdug itu. Apalagi bila menyadari, cara membaca kita sedikit banyak akan turut juga mempengaruhi mood para pendengar.
Tetapi aku selalu mengagumi ketenangan -- bahkan sebetulnya cenderung ke-keras-kepalaan -- Irna bila aku mengingatkan dia mempersiapkan diri manakala akan bertugas sebagai lektor. Di mata dia aku ini adalah pribadi yang terlalu mengkhawatirkan hal-hal kecil. Terlalu memikirkan apa kata orang. Terlalu ingin perfek. Dan terlalu takut pada kesalahan.
Padahal, kata dia suatu kali, setelah aku setengah memaksa agar dia berlatih membacakan nats yang akan dia bacakan di depanku, semua orang memiliki cara dan kemampuan sendiri dalam membaca. Yang penting, kata dia, adalah nats itu dibacakan dengan wajar dan jelas, dapat didengar dengan jernih oleh semua pendengar, dan dapat diikuti oleh jemaat yang juga turut menyimak lewat Alkitab masing-masing. Tidak semua orang berbakat seperti pemain teater dalam membaca Alkitab, kata dia. Tetapi ia menambahkan, semua orang dapat membacakan ayat suci dengan baik sepanjang ia melakukannya dengan sungguh-sungguh.
Yang dia katakan itu ada benarnya. Walaupun aku menilai dia berlatih pas-pasan, justru ia nyaris tak pernah ada masalah ketika tampil berbicara di depan publik. Sebaliknya diriku. Acap kali aku merasa sudah mempersiapkan diri dengan sedetil-detilnya, tetapi ketika tiba saatnya, baru terasa ada yang kurang.
Pernah suatu kali kami mendapat giliran menjadi petugas doa keluarga. Kami bertiga, Amartya, Irna dan aku memanjatkan doa syafaat yang isinya adalah permintaan keluarga-keluarga. Demikian sungguh-sungguhnya kami menyiapkan diri, aku sampai membuat teks tertulis doa tersebut.
Dan ketika tiba saatnya berdoa, Amartya dan Irna berdoa dengan pengucapan yang wajar, sementara justru aku yang sempat tersendat, kerongkonganku terasa tercekat, ketika aku harus mendoakan gereja kami yang sekian puluh tahun IMB-nya tak terbit jua, sementara kurasakan semakin banyak yang merasa letih dalam penantian. Saat itu aku benar-benar merasa tidak bisa menguasai diri dan seharusnya itu tak boleh terjadi.
Walaupun kadang-kadang aku menilai Irna terlalu cuek dalam mempersiapkan diri, dalam hati aku mengakui efisiensinya, dan mungkin itu adalah salah satu sikap perempuan yang patut dicontoh. Tiga hari lalu, sambil ia merapikan setrikaan, di samping meja setrikaannya itu kulihat ada Alkitab yang terbuka. Dan tak lama kemudian ia berkata, "Gila, panjang juga ya bacaan gue hari Minggu nanti. Enam belas ayat cing," kata dia, entah mengeluh, entah sekadar melapor bahwa dia telah berlatih.
Aku pura-pura tak dengar. Tetapi aku senang, ternyata tanpa sepengetahuanku dan tanpa kuminta, ia telah berlatih. (Atau sama seperti semua orang di dunia, para istri kita itu justru lebih senang melakukan sesuatu tanpa supervisi dari orang yang merasa harus mensupervisi dia? LoL) Dalam hati aku bertanya, dulu Rut, Naomi, Hana dan lain-lain itu, apakah juga menyempatkan baca Kitab Suci sambil mereka memetik gandum, mengambil air ke sumur atau tatkala memasak di dapur?
Dan tadi pagi ketika ia membacakan 1 Samuel 1: 4-20 itu, aku berusaha menyimak apa yang dibacakannya. Dua kali aku memotretnya dengan ponselku. Dan terpujilah Tuhan, ia membacakannya dengan lancar, sama seperti para lektor lainnya yang juga membacakannya dengan lancar.
Aku berjanji, tak akan pernah memaksa dia lagi untuk berlatih. Biarkan dia membaca Alkitab dengan caranya sendiri.
Oh ya, bagi yang belum tahu, perkenalkan, Irna Kurniarini Siadari itu adalah istri saya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment