06 December 2015

Merindu Pedih di Musim Adven

Dari sejumlah "Calvinist sejati" yang kukenal dan kuamati selama ini, semakin kusadari bahwa pemahamanku tentang "Desember ceria" ternyata perlu diluruskan. Ia bukan sekadar "Bulan Natal" dan "Bulan Pohon Terang." Yang dominan pada bulan-bulan itu seharusnya suasana adven, suasana merindu yang pedih, tetapi juga penuh pengharapan.

Kalender gerejawi menunjukkan bahwa minggu-minggu Adven adalah empat hari Minggu sebelum 25 Desember yang dihayati sebagai masa penantian akan kedatangan Sang Penebus. Kerinduan akan kedatanganNya membubung, tetapi pada saat yang sama, kita juga menghayati kepedihan hidup dalam kungkungan dosa. Manusia tak hanya meronta karena sakit dan pedihnya hidup, tetapi juga meneriakkan ratap penyesalan.


Tetapi bagi kami anak-anak di Sarimatondang seperti diriku di masa kecil, bagaimana lagi mungkin meratap pedih dan sakitnya hidup, sebab, hari-hari sejak Januari sampai November sebetulnya adalah hari-hari penuh ratapan -- makan dengan ikan asin yang digoreng kembali kalau tidak habis, pergi ke ladang di hari berhujan padahal sandal karet sudah nyaris putus?

Desember di masa kecil dulu adalah masa pembebasan, karena di gereja akan sibuk berlatih paduan suara, berlatih drama, berlatih liturgi. Dan itu berarti ada alasan untuk tidak ke ladang, untuk tidak ke lapangan sepak bola mengambil taik kerbau untuk jadi pupuk dan banyak lagi tugas berat yang di musim Natal dapat dikesampingkan. Desember adalah pembebasan, karena kita akan makan enak dari sisa-sisa kacang tojin yang sedang digoreng, kebagian daging terbaik dunia hasil 'marbinda' dan minum sirop markisa yang hanya muncul di musim Natal..

Dengan kata lain, Januari hingga November itulah masa Adven, masa penantian penuh kepiluan. Sedangkan Desember adalah 'bulan pesta.' Harap dicatat: pesta dalam Bahasa Batak agar berbeda artinya dengan pesta dalam Bahasa Indonesia. Dalam Pesta di Bahasa Batak, terkandung arti perayaan, ucapan syukur dan sukacita. Agak berbeda dengan Pesta dalam Bahasa Indonesia, yang acap kali mengandung konotasi foya-foya dan lupa diri.

Tetapi dari beberapa kaum Calvinist yang aku kenal itu, kini perlahan-lahan aku mulai menghayati Adven dengan move on dari kenangan masa kecil itu. Lagipula anak-anak sekarang juga tidak lagi mengalami masa-masa seperti yang kualami di masa dulu itu.

Adven dewasa ini, bagi generasi wifi, generasi Starbucks dan generasi Aeon, barangkali harus kembali ke apa yang oleh Bapa Gereja Agustinus dihayati sebagai masa di mana "kita harus menyadari bahwa kita seolah-olah seperti orang yang sedang tenggelam. Sebab itu kita meronta-ronta, tangan kita menggapai-gapai, kita berusaha mengangkat kepala dari dalam air. Untuk apa? Untuk mencari udara. Untuk bisa bernafas. Sebab kita tahu itulah satu-satunya cara untuk bisa bertahan hidup."

Kata Agustinus, "orang Kristen itu mencari Tuhan seperti orang tenggelam mencari udara. Hidup kita senantiasa merupakan Adven."

No comments:

Post a Comment