Dari sejumlah "Calvinist sejati" yang kukenal dan kuamati selama ini,
semakin kusadari bahwa pemahamanku tentang "Desember ceria" ternyata
perlu diluruskan. Ia bukan sekadar "Bulan Natal" dan "Bulan Pohon
Terang." Yang dominan pada bulan-bulan itu seharusnya suasana adven,
suasana merindu yang pedih, tetapi juga penuh pengharapan.
Kalender gerejawi menunjukkan bahwa minggu-minggu Adven adalah empat
hari Minggu sebelum 25 Desember yang dihayati sebagai masa penantian
akan kedatangan Sang Penebus. Kerinduan
akan kedatanganNya membubung, tetapi pada saat yang sama, kita juga
menghayati kepedihan hidup dalam kungkungan dosa. Manusia tak hanya
meronta karena sakit dan pedihnya hidup, tetapi juga meneriakkan ratap
penyesalan.
Tetapi bagi
kami anak-anak di Sarimatondang seperti diriku di masa kecil, bagaimana
lagi mungkin meratap pedih dan sakitnya hidup, sebab, hari-hari sejak
Januari sampai November sebetulnya adalah hari-hari penuh ratapan --
makan dengan ikan asin yang digoreng kembali kalau tidak habis, pergi ke
ladang di hari berhujan padahal sandal karet sudah nyaris putus?
Desember di masa kecil dulu adalah masa pembebasan, karena di gereja
akan sibuk berlatih paduan suara, berlatih drama, berlatih liturgi. Dan
itu berarti ada alasan untuk tidak ke ladang, untuk tidak ke lapangan
sepak bola mengambil taik kerbau untuk jadi pupuk dan banyak lagi tugas berat yang di musim Natal dapat dikesampingkan.
Desember adalah pembebasan, karena kita akan makan enak dari sisa-sisa
kacang tojin yang sedang digoreng, kebagian daging terbaik dunia hasil
'marbinda' dan minum sirop markisa yang hanya muncul di musim Natal..
Dengan kata lain, Januari hingga
November itulah masa Adven, masa penantian penuh kepiluan. Sedangkan
Desember adalah 'bulan pesta.' Harap dicatat: pesta dalam Bahasa Batak
agar berbeda artinya dengan pesta dalam Bahasa Indonesia. Dalam Pesta di
Bahasa Batak, terkandung arti perayaan, ucapan syukur dan sukacita.
Agak berbeda dengan Pesta dalam Bahasa Indonesia, yang acap kali
mengandung konotasi foya-foya dan lupa diri.
Tetapi dari
beberapa kaum Calvinist yang aku kenal itu, kini perlahan-lahan aku
mulai menghayati Adven dengan move on dari kenangan masa kecil itu.
Lagipula anak-anak sekarang juga tidak lagi mengalami masa-masa seperti
yang kualami di masa dulu itu.
Adven dewasa ini, bagi generasi
wifi, generasi Starbucks dan generasi Aeon, barangkali harus kembali ke
apa yang oleh Bapa Gereja Agustinus dihayati sebagai masa di mana "kita
harus menyadari bahwa kita seolah-olah seperti orang yang sedang
tenggelam. Sebab itu kita meronta-ronta, tangan kita menggapai-gapai,
kita berusaha mengangkat kepala dari dalam air. Untuk apa? Untuk mencari
udara. Untuk bisa bernafas. Sebab kita tahu itulah satu-satunya cara
untuk bisa bertahan hidup."
Kata Agustinus, "orang Kristen itu
mencari Tuhan seperti orang tenggelam mencari udara. Hidup kita
senantiasa merupakan Adven."
No comments:
Post a Comment