06 March 2016

LGBT dan Kisah Sodom dan Gomora


Ada banyak kalangan yang menafsirkan Kisah Sodom dan Gomora di Alkitab (Kej 19:4-8) sebagai penghakiman Tuhan terhadap Lesbian, Gay, Bisexual and Transgender (LGBT). Penafsiran lebih jauh atas kisah Sodom dan Gomora sering memicu penghakiman ekstrem bahwa LGBT adalah pendosa akibat jatidirinya sebagai LGBT.

Penafsiran semacam itu telah banyak ditinjau dan diteliti kembali karena sering diwarnai oleh pemikiran sendiri (presuposisi). Sama halnya ketika Alkitab dulu dipakai melegalisasi sistem perbudakan, ketika digali ulang, orang menemukan bahwa teks-teks Alkitab tersebut telah ditafsirkan dan akhirnya gereja menolak perbudakan.


Bagaimana Alkitab menceritakan kisah Sodom dan Gomora? Kej 19:4-8 Bercerita demikian:
Tetapi sebelum mereka tidur, orang-orang lelaki dari kota Sodom itu, dari yang muda sampai yang tua, bahkan seluruh kota, tidak ada yang terkecuali, datang mengepung rumah itu.

Mereka berseru kepada Lot: "Di manakah orang-orang yang datang kepadamu malam ini? Bawalah mereka keluar kepada kami, supaya kami pakai mereka."

Lalu keluarlah Lot menemui mereka, ke depan pintu, tetapi pintu ditutupnya di belakangnya,
dan ia berkata: "Saudara-saudaraku, janganlah kiranya berbuat jahat.

Kamu tahu, aku mempunyai dua orang anak perempuan yang belum pernah dijamah laki-laki, baiklah mereka kubawa ke luar kepadamu; perbuatlah kepada mereka seperti yang kamu pandang baik; hanya jangan kamu apa-apakan orang-orang ini, sebab mereka memang datang untuk berlindung di dalam rumahku.

***
Bila membaca teks ini, kita patut bertanya benarkah penduduk Sodom dihukum Tuhan karena dosa homoseks? Benarkah meeka semua adalah gay?

Pemerkosaan terhadap tamu-tamu Lot adalah ekspresi kebencian masyarakat terhadap orang asing yang diwujudkan dalam bentuk pelecehan seksual, yang bertujuan untuk merendahkan martabat dari etnis/suku/bangsa dari orang yang dilecehkan.

Hal ini semakin jelas bila membandingkan dengan kasus yang terjadi di kota Gibea (Hak 19:22-25). Seorang Lewi bersama gundiknya (orang asing) bermalam di rumah seorang tua di kota Gibea.
Berikut ini nats itu:
Lalu keluarlah pemilik rumah itu menemui mereka dan berkata kepada mereka: "Tidak, saudara-saudaraku, janganlah kiranya berbuat jahat; karena orang ini telah masuk ke rumahku, janganlah kamu berbuat noda.

Tetapi ada anakku perempuan, yang masih perawan, dan juga gundik orang itu, baiklah kubawa keduanya ke luar; perkosalah mereka dan perbuatlah dengan mereka apa yang kamu pandang baik, tetapi terhadap orang ini janganlah kamu berbuat noda."

Tetapi orang-orang itu tidak mau mendengarkan perkataannya. Lalu orang Lewi itu menangkap gundiknya dan membawanya kepada mereka ke luar, kemudian mereka bersetubuh dengan perempuan itu dan semalam-malaman itu mereka mempermainkannya, sampai pagi. Barulah pada waktu fajar menyingsing mereka melepaskan perempuan itu.

Berdasarkan dua nats di atas, dapat dikatakan Kisah Sodom dan Gibea memiliki beberapa kesamaan:
1. Keduanya menceritakan seorang asing (khususnya laki-laki) akan diperkosa untuk melecehkan martabatnya. Lelaki di masa itu dipandang lebih tinggi derajatnya dari perempuan dan merupakan wujud kemuliaan manusia.

2. Penduduk kota tidak mau memperkosa anak-anak perempuan si pemilik rumah karena mereka adalah penduduk lokal. Sasaran yang dipilih bukan jenis kelamin korban melainkan statusnya sebagai orang asing.

Dalam kasus Gibea, warga akhirnya memperkosa gundik perempuan si tamu asing.
Dengan demikian dapat dikatakan, kisah Sodom dan Gomora bukan mempersoalkan hubungan seksual sesama jenis, melainkan kekerasan seksual yang dilakukan untuk merendahkan martabat seseorang. Kekerasan seksual dalam bentuk apa pun (heteroseks atau homoseks) adalah dosa.

(Bacaan ini diringkas dari artikel berjudul Gereja dan LGBT, yang ditulis oleh Pdt Juswantori Ichwan, dan dimuat dalam Bulletin LPP Sinode no 38 Desember 2015.

No comments:

Post a Comment