Dalam tulisannya yang berjudul Censura Morum, Prof. Decker seorang guru besar di The Protestant Reformed Seminary mengutip
bagian dari Tata Gereja pasal 81 dari Gereja-gereja Prostestan, yaitu:
“Pelayan firman, para penatua, dan diaken sebelum merayakan Perjamuan
Tuhan melakukan sensura-morum di antara mereka, dan dengan roh
persaudaraan menegur satu sama lain yang berkenaan dengan tugas
panggilan mereka”
(http://standardbearer.rfpa.org/articles/elders-and-censura-morum).
Pengajaran dalam Tata Gereja yang dikutip oleh Prof. Decker tersebut
sebenarnya berasal dari hasil persidangan gerejawi di Dordrecht yang
dibuat pada 1578, dan persidangan sinode di Middleburg pada 1581.
Pelaksanaan sensura morum juga disebut dengan censura fraternal (pengujian sebagai saudara). Yohanes Calvin, bapa reformator menasihati agar gereja-gereja Tuhan setidak-tidaknya melaksanakancensura morum minimum empat kali setahun. Materi sensura morum kepada
jemaat dan para pejabat gerejawi meliputi dua bagian, yaitu: pengajaran
dan kehidupan etis-moral. Dalam bukunya yang berjudulInstitutio (tulisan
Calvin yang telah diterjemahkan oleh BPK Gunung Mulia), Johanes Calvin
menyatakan: “Supaya Perjamuan Kudus dilayankan dengan cara yang paling
khidmat, itu hendaknya sering sekali disuguhkan kepada jemaat,
sekurang-kurangnya satu kali seminggu” (Calvin, 1980, 250). Dengan
demikian dalam pandangan Calvin setiap hari Minggu dilaksanakan
Perjamuan Kudus. [1]
Pelaksanaan sensura morum bukan
merupakan media atau forum untuk menghakimi, mempermalukan dan
menghukum umat karena kesalahan/dosa yang telah diperbuatnya. Praktik sensura morum dalam
kehidupan berjemaat adalah pengujian yang dilakukan oleh seorang
saudara yang mengasihi dengan tulus dan memiliki kehendak baik sehingga
ia bertobat. Karena itulah pelaksanaan sensura morum harus menjadi censura fraternal.
Rasul Paulus di Galatia 6:1 menyatakan: “Saudara-saudara, kalaupun
seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani,
harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut,
sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan.”
Fungsi sensura morum adalah
menghadirkan dan mengekspresikan kasih Kristus yang mengampuni dengan
memberi nasihat dan menegur dalam kasih yang roh lemah-lembut sehingga
saudaranya dapat berbalik dan mengalami pembaruan hidup. Nasihat Rasul
Paulus di Galatia 6:1 mengingatkan bahwa tidak ada seorangpun yang layak
di hadapan Tuhan, karena itu setiap umat dan pejabat gerejawi dipanggil
untuk menjaga dirinya masing-masing supaya mereka tidak kena pencobaan.
Kata sensura-morum dipergunakan
dalam Tata Gereja GKI, yaitu di Tata Laksana pasal 25:3 hal Perjamuan
Kudus, yaitu: “Majelis jemaat mempersiapkan perayaan perjamuan kudus
agar anggota memahami dan menghayati arti perjamuan kudus serta
melakukan pemeriksaan diri (sensura morum).
Esensi dari Tata Laksana 25:3 adalah selaku Majelis Jemaat, yaitu para
Pendeta dan Penatua bertanggungjawab mempersiapkan perayaan perjamuan
kudus agar umat memahami dan menghayati makna perjamuan kudus. Persiapan
sakramen Perjamuan Kudus tersebut dilakukan dengan cara pemeriksaan
diri (sensura morum). Bagaimanakah pola dan cara pemeriksaan diri (sensura morum) tersebut dilaksanakan?
Pola dan cara pemeriksaan diri (sensura morum)
tersebut diperjelas di Tata Laksana 25:3b, yaitu: “Melaksanakan
Kebaktian Persiapan Perjamuan Kudus pada Kebaktian Minggu terakhir
sebelum perayaan Perjamuan Kudus tersebut dengan menggunakan Liturgi
Persiapan Perjamuan Kudus.” Makna teologis yang terkandung dalam Tata
Laksana 25:3b adalah:
- Pemeriksaan diri (sensura morum) diwujudkan dalam Kebaktian Minggu di gereja, yaitu minggu terakhir sebelum perayaan sakramen Perjamuan Kudus tersebut dilaksanakan.
- Pemeriksaan diri (sensura morum) tersebut berbentuk liturgi, sehingga sensura morum dilaksanakan dengan menggunakan Liturgi Persiapan Perjamuan Kudus. Karena menggunakan Liturgi Persiapan Perjamuan Kudus, maka sensura morum pada hakikatnya suatu pemeriksaan diri yang dilaksanakan dalam bentuk kebaktian (bukan: pastoral individual). Karena itu di Tata Laksana 25:3b menyatakan bahwa Majelis Jemaat melaksanakan Kebaktian Persiapan Perjamuan Kudus.
- Sebagai suatu Kebaktian Persiapan Perjamuan Kudus, maka sensura morum (pemeriksaan diri) dilaksanakan secara komunal, yaitu dalam persekutuan umat yang terhimpun dalam suatu kebaktian Minggu. Dengan demikian pemeriksaan diri (sensura morum) pada hakikatnya tidak dilaksanakan secara individual (orang per orang), kecuali dalam konteks Penggembalaan Khusus.
- Secara implisit Tata Laksana 25:3b membuka kemungkinan pemeriksaan diri (sensura morum) kepada anggota jemaat yang berhalangan hadir karena sakit atau kondisi tertentu. Karena itu kepada anggota jemaat yang berhalangan hadir sehingga mereka tidak dapat mengikuti Kebaktian Persiapan Perjamuan Kudus, Majelis Jemaat melakukan pemeriksaan diri (sensura morum) di rumah mereka.
Dasar pelaksanaan pemeriksaan diri (sensura morum)
adalah firman Tuhan yang dikemukakan oleh Rasul Paulus di Surat 1
Korintus 11:28-29, yaitu: “Karena itu hendaklah tiap-tiap orang menguji
dirinya sendiri dan baru sesudah itu ia makan roti dan minum dari cawan
itu. Karena barangsiapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia
mendatangkan hukuman atas dirinya.” Kata “menguji dirinya sendiri”
berasal dari kata dokimazo,
yang artinya: untuk menguji, memeriksa, membuktikan, meneliti (untuk
melihat apakah hal itu asli atau tidak), seperti menguji logam. Kata dokimazo yang
lain dapat kita lihat di Roma 12:2, yaitu: “Janganlah kamu menjadi
serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu,
sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik,
yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” LAI menerjemahkan kata dokimazo dengan
kata “membedakan.” NIV menerjemahkan dengan “be able to test” (mampu
menguji), sedang NKJV menerjemahkan dengan “may prove” (dapat
membuktikan). Dengan demikian maksud Rasul Paulus di 1 Korintus 11:28
dengan kata “menguji dirinya sendiri” dimaksudkan agar umat mengenali
dan menyadari situasi keberadaannya di hadapan Allah, apakah ia telah
hidup sesuai dengan kehendak Allah dan setia melaksanakan panggilannya.
Apabila umat bersedia menyadari dengan jujur di hadapan Allah, maka
dengan kasih-karunia Allah ia dimampukan untuk mengakui roti sebagai
Tubuh Kristus, dan air anggur sebagai Darah Kristus (1Kor. 11:29).
Dengan demikian dalam sensura morum (pemeriksaan
diri), umat diharapkan: 1). Menguji dirinya sendiri di hadapan Allah,
2). Mengakui dosa-dosa, kesalahan dan ketidaklayakannya, 3). Mengimani
bahwa melalui sakramen Perjamuan Kudus, Allah di dalam Kristus
menghadirkan Tubuh dan Darah-Nya. [2]
Dengan memerhatikan makna sensura morum tersebut,
berarti perlawatan ke rumah anggota jemaat misal karena sakit atau
lanjut usia seharusnya bukan merupakan percakapan pastoral umum
(konseling-pastoral), namun suatu ibadah dengan tujuan umat mampu
menguji dirinya sendiri di hadapan Allah, mengakui dosa-dosa, kesalahan,
dan ketidaklayakannya, serta mengimani anugerah kaish Allah yang
dinyatakan dalam sakramen Perjamuan Kudus. Untuk itu Majelis Jemaat saat
melaksanakan sensura morum ke rumah jemaat sebaiknya menggunakan Liturgi Persiapan Perjamuan Kudus. Bentuk Liturgi Persiapan Perjamuan Kudus dapat dilihat di Liturgi Gereja Kristen Indonesia hal. 47-50. Bila keadaan tidak memungkinkan, Majelis Jemaat dapat membacakan Formulir Persiapan Perjamuan Kudus saat mempersiapkan anggota jemaat di rumah mereka sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Sinode GKI, yaitu pada hal. 52-53.
Karena sensura morum dilaksanakan
dalam kebaktian Minggu menjelang pelaksanaan Sakramen Perjamuan Kudus,
maka Majelis Jemaat perlu memberi penjelasan tentang makna dan hakikat sensura morum,
sehingga setiap jemaat dengan sungguh-sungguh ambil bagian dalam
“pemeriksaan diri” tersebut. Majelis Jemaat perlu mempersiapkan diri
melalui sensura morum bersama
Pendeta, yaitu untuk memeriksa apakah setiap anggota Majelis Jemaat
telah melaksanakan tugas, kewajiban, tanggungjawab, dan panggilannya
dengan setia di hadapan Tuhan. Dengan demikian para Penatua dapat
mempersiapkan setiap jemaat dan pelaksanaan Sakramen Perjamuan Kudus.
Catatan Kaki
[1] Di
Jenewa pada zaman itu diadakan kebaktian beberapa kali per minggu.
Calvin menentukan hanya setiap hari Minggu. Namun Dewan Kota Jenewa
keberatan, sehingga Perjamuan Kudus tidak dilayakan lebih dari sebulan
sekali (Calvin 1980, 250).
[2] Ucapan
Yesus dalam Perjamuan Tuhan, yaitu “Tubuh dan Darah-Nya” dalam konteks
ini bukan dalam pengertian teologi “transubstansiasi.” Dalam teologi
transubstansiasi, roti dan anggur berubah menjadi Tubuh dan Darah
Kristus saat dilaksanakan penahbisan (konsekrasi). Martin Luther sebagai
Bapa Reformatoris lebih memahami sebagai “konsubstansiasi,” artinya:
dalam sakramen Perjamuan Tuhan terdapat dua realitas, yaitu Tubuh dan
Darah Kristus, dan roti-anggur yang saling berada dalam kesatuan.
Johanes Calvin mengingatkan jemaat: “”Akan tetapi sangat besarlah
kekeliruan mereka yang sama sekali tidak menerima hadirnya daging
Kristus pada Perjamuan Kudus, kecuali apabila dianggap berada di dalam
roti” (Calvin 1980, 248). Jadi Calvin menghayati sakramen Perjamuan
Kudus sebagai praesentia realis (kehadiran sungguh-sungguh) Kristus tidaklah terikat pada transubstansiasi atau konsubstansiasi (Calvin 1980, 248).
Tulisan ini merupakan artikel yang ditulis oleh Pdt. Yohanes Bambang Mulyono dan dikutip dari blog pribadi beliau, kemudian ditampilkan pada Seri Pembinaan di Warta Jemaat GKI Sarua Indah 7 Maret 2016
No comments:
Post a Comment