27 March 2016

Makna Sensura-Morum dalam Persiapan Sakramen Perjamuan Kudus

Dalam tulisannya yang berjudul Censura Morum, Prof. Decker seorang guru besar di The Protestant Reformed Seminary mengutip bagian dari Tata Gereja pasal 81 dari Gereja-gereja Prostestan, yaitu: “Pelayan firman, para penatua, dan diaken sebelum merayakan Perjamuan Tuhan melakukan sensura-morum di antara mereka, dan dengan roh persaudaraan menegur satu sama lain yang berkenaan dengan tugas panggilan mereka” (http://standardbearer.rfpa.org/articles/elders-and-censura-morum). Pengajaran dalam Tata Gereja yang dikutip oleh Prof. Decker tersebut sebenarnya berasal dari hasil persidangan gerejawi di Dordrecht yang dibuat pada 1578, dan persidangan sinode di Middleburg pada 1581. Pelaksanaan sensura morum juga disebut dengan censura fraternal (pengujian sebagai saudara). Yohanes Calvin, bapa reformator menasihati agar gereja-gereja Tuhan setidak-tidaknya melaksanakancensura morum minimum empat kali setahun. Materi sensura morum kepada jemaat dan para pejabat gerejawi meliputi dua bagian, yaitu: pengajaran dan kehidupan etis-moral. Dalam bukunya yang berjudulInstitutio (tulisan Calvin yang telah diterjemahkan oleh BPK Gunung Mulia), Johanes Calvin menyatakan: “Supaya Perjamuan Kudus dilayankan dengan cara yang paling khidmat, itu hendaknya sering sekali disuguhkan kepada jemaat, sekurang-kurangnya satu kali seminggu” (Calvin, 1980, 250). Dengan demikian dalam pandangan Calvin setiap hari Minggu dilaksanakan Perjamuan Kudus. [1]
Pelaksanaan sensura morum bukan merupakan media atau forum untuk menghakimi, mempermalukan dan menghukum umat karena kesalahan/dosa yang telah diperbuatnya. Praktik sensura morum dalam kehidupan berjemaat adalah pengujian yang dilakukan oleh seorang saudara yang mengasihi dengan tulus dan memiliki kehendak baik sehingga ia bertobat. Karena itulah pelaksanaan sensura morum harus menjadi censura fraternal. Rasul Paulus di Galatia 6:1 menyatakan: “Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani, harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan.” Fungsi sensura morum adalah menghadirkan dan mengekspresikan kasih Kristus yang mengampuni dengan memberi nasihat dan menegur dalam kasih yang roh lemah-lembut sehingga saudaranya dapat berbalik dan mengalami pembaruan hidup. Nasihat Rasul Paulus di Galatia 6:1 mengingatkan bahwa tidak ada seorangpun yang layak di hadapan Tuhan, karena itu setiap umat dan pejabat gerejawi dipanggil untuk menjaga dirinya masing-masing supaya mereka tidak kena pencobaan.
Kata sensura-morum dipergunakan dalam Tata Gereja GKI, yaitu di Tata Laksana pasal 25:3 hal Perjamuan Kudus, yaitu: “Majelis jemaat mempersiapkan perayaan perjamuan kudus agar anggota memahami dan menghayati arti perjamuan kudus serta melakukan pemeriksaan diri (sensura morum). Esensi dari Tata Laksana 25:3 adalah selaku Majelis Jemaat, yaitu para Pendeta dan Penatua bertanggungjawab mempersiapkan perayaan perjamuan kudus agar umat memahami dan menghayati makna perjamuan kudus. Persiapan sakramen Perjamuan Kudus tersebut dilakukan dengan cara pemeriksaan diri (sensura morum). Bagaimanakah pola dan cara pemeriksaan diri (sensura morum) tersebut dilaksanakan?
Pola dan cara pemeriksaan diri (sensura morum) tersebut diperjelas di Tata Laksana 25:3b, yaitu: “Melaksanakan Kebaktian Persiapan Perjamuan Kudus pada Kebaktian Minggu terakhir sebelum perayaan Perjamuan Kudus tersebut dengan menggunakan Liturgi Persiapan Perjamuan Kudus.” Makna teologis yang terkandung dalam Tata Laksana 25:3b adalah:
  1. Pemeriksaan diri (sensura morum) diwujudkan dalam Kebaktian Minggu di gereja, yaitu minggu terakhir sebelum perayaan sakramen Perjamuan Kudus tersebut dilaksanakan.
  2. Pemeriksaan diri (sensura morum) tersebut berbentuk liturgi, sehingga sensura morum dilaksanakan dengan menggunakan Liturgi Persiapan Perjamuan Kudus. Karena menggunakan Liturgi Persiapan Perjamuan Kudus, maka sensura morum pada hakikatnya suatu pemeriksaan diri yang dilaksanakan dalam bentuk kebaktian (bukan: pastoral individual). Karena itu di Tata Laksana 25:3b menyatakan bahwa Majelis Jemaat melaksanakan Kebaktian Persiapan Perjamuan Kudus.
  3. Sebagai suatu Kebaktian Persiapan Perjamuan Kudus, maka sensura morum (pemeriksaan diri) dilaksanakan secara komunal, yaitu dalam persekutuan umat yang terhimpun dalam suatu kebaktian Minggu. Dengan demikian pemeriksaan diri (sensura morum) pada hakikatnya tidak dilaksanakan secara individual (orang per orang), kecuali dalam konteks Penggembalaan Khusus.
  4. Secara implisit Tata Laksana 25:3b membuka kemungkinan pemeriksaan diri (sensura morum) kepada anggota jemaat yang berhalangan hadir karena sakit atau kondisi tertentu. Karena itu kepada anggota jemaat yang berhalangan hadir sehingga mereka tidak dapat mengikuti Kebaktian Persiapan Perjamuan Kudus, Majelis Jemaat melakukan pemeriksaan diri (sensura morum) di rumah mereka.
Dasar pelaksanaan pemeriksaan diri (sensura morum) adalah firman Tuhan yang dikemukakan oleh Rasul Paulus di Surat 1 Korintus 11:28-29, yaitu: “Karena itu hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri dan baru sesudah itu ia makan roti dan minum dari cawan itu. Karena barangsiapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya.” Kata “menguji dirinya sendiri” berasal dari kata dokimazo, yang artinya: untuk menguji, memeriksa, membuktikan, meneliti (untuk melihat apakah hal itu asli atau tidak), seperti menguji logam. Kata dokimazo yang lain dapat kita lihat di Roma 12:2, yaitu: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” LAI menerjemahkan kata dokimazo dengan kata “membedakan.” NIV menerjemahkan dengan “be able to test” (mampu menguji), sedang NKJV menerjemahkan dengan “may prove” (dapat membuktikan). Dengan demikian maksud Rasul Paulus di 1 Korintus 11:28 dengan kata “menguji dirinya sendiri” dimaksudkan agar umat mengenali dan menyadari situasi keberadaannya di hadapan Allah, apakah ia telah hidup sesuai dengan kehendak Allah dan setia melaksanakan panggilannya. Apabila umat bersedia menyadari dengan jujur di hadapan Allah, maka dengan kasih-karunia Allah ia dimampukan untuk mengakui roti sebagai Tubuh Kristus, dan air anggur sebagai Darah Kristus (1Kor. 11:29). Dengan demikian dalam sensura morum (pemeriksaan diri), umat diharapkan: 1). Menguji dirinya sendiri di hadapan Allah, 2). Mengakui dosa-dosa, kesalahan dan ketidaklayakannya, 3). Mengimani bahwa melalui sakramen Perjamuan Kudus, Allah di dalam Kristus menghadirkan Tubuh dan Darah-Nya. [2]
Dengan memerhatikan makna sensura morum tersebut, berarti perlawatan ke rumah anggota jemaat misal karena sakit atau lanjut usia seharusnya bukan merupakan percakapan pastoral umum (konseling-pastoral), namun suatu ibadah dengan tujuan umat mampu menguji dirinya sendiri di hadapan Allah, mengakui dosa-dosa, kesalahan, dan ketidaklayakannya, serta mengimani anugerah kaish Allah yang dinyatakan dalam sakramen Perjamuan Kudus. Untuk itu Majelis Jemaat saat melaksanakan sensura morum ke rumah jemaat sebaiknya menggunakan Liturgi Persiapan Perjamuan Kudus. Bentuk Liturgi Persiapan Perjamuan Kudus dapat dilihat di Liturgi Gereja Kristen Indonesia hal. 47-50. Bila keadaan tidak memungkinkan, Majelis Jemaat dapat membacakan Formulir Persiapan Perjamuan Kudus saat mempersiapkan anggota jemaat di rumah mereka sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Sinode GKI, yaitu pada hal. 52-53.
Karena sensura morum dilaksanakan dalam kebaktian Minggu menjelang pelaksanaan Sakramen Perjamuan Kudus, maka Majelis Jemaat perlu memberi penjelasan tentang makna dan hakikat sensura morum, sehingga setiap jemaat dengan sungguh-sungguh ambil bagian dalam “pemeriksaan diri” tersebut. Majelis Jemaat perlu mempersiapkan diri melalui sensura morum bersama Pendeta, yaitu untuk memeriksa apakah setiap anggota Majelis Jemaat telah melaksanakan tugas, kewajiban, tanggungjawab, dan panggilannya dengan setia di hadapan Tuhan. Dengan demikian para Penatua dapat mempersiapkan setiap jemaat dan pelaksanaan Sakramen Perjamuan Kudus.
Catatan Kaki
[1] Di Jenewa pada zaman itu diadakan kebaktian beberapa kali per minggu. Calvin menentukan hanya setiap hari Minggu. Namun Dewan Kota Jenewa keberatan, sehingga Perjamuan Kudus tidak dilayakan lebih dari sebulan sekali (Calvin 1980, 250).
[2] Ucapan Yesus dalam Perjamuan Tuhan, yaitu “Tubuh dan Darah-Nya” dalam konteks ini bukan dalam pengertian teologi “transubstansiasi.” Dalam teologi transubstansiasi, roti dan anggur berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus saat dilaksanakan penahbisan (konsekrasi). Martin Luther sebagai Bapa Reformatoris lebih memahami sebagai “konsubstansiasi,” artinya: dalam sakramen Perjamuan Tuhan terdapat dua realitas, yaitu Tubuh dan Darah Kristus, dan roti-anggur yang saling berada dalam kesatuan. Johanes Calvin mengingatkan jemaat: “”Akan tetapi sangat besarlah kekeliruan mereka yang sama sekali tidak menerima hadirnya daging Kristus pada Perjamuan Kudus, kecuali apabila dianggap berada di dalam roti” (Calvin 1980, 248). Jadi Calvin menghayati sakramen Perjamuan Kudus sebagai praesentia realis (kehadiran sungguh-sungguh) Kristus tidaklah terikat pada transubstansiasi atau konsubstansiasi (Calvin 1980, 248).
Tulisan ini merupakan artikel yang ditulis oleh Pdt. Yohanes Bambang Mulyono dan dikutip dari blog pribadi beliau, kemudian ditampilkan pada Seri Pembinaan di Warta Jemaat GKI Sarua Indah 7 Maret 2016

No comments:

Post a Comment