Bagi sebagian orang menulis khotbah mungkin menyenangkan. Bagi sebagian lagi sangat menjemukan. Ia jadi menjemukan apabila mebayangkan bahwa khotbah yang sudah kita tulis dengan susah-payah itu, tidak mungkin akan kita bacakan kata demi kata. Bagaimana mungkin berkhotbah dengan membaca teks? Itu sama saja dengan Presiden Soeharto membacakan pidato mengantarkan RAPBN. Kalau tidak karena terpaksa, pendengarnya pasti sudah lama meninggalkan ruangan.
Tetapi walaupun kita tidak akan membacakannya, adalah penting menuliskan khotbah yang akan kita khotbahkan kata demi kata. Ada banyak gunanya, dan aku dapat mengatakan, seharusnya ia menjadi salah satu proses wajib dalam persiapan kita dalam berkhotbah. Menulis khotbah menjadi langkah awal dalam upaya kita menyusunnya, mendalaminya untuk kemudian menyampaikannya lalu kemudian mengundang jemaat memberikan respon.
Menurut berbagai literatur tentang khotbah, dengan menuliskan khotbah sesungguhnya kita sedang menggali dan kemudian menyusun apa-apa yang akan kita khotbahkan. Dari tulisan itu, kita kemudian dapat melihat mana yang perlu diperkaya, yang perlu dikurangi, yang perlu diperdalam.
Menulis khotbah juga berarti menginternalisasi khotbah itu ke dalam diri kita sendiri. Ada yang mengatakan, dengan menulis khotbah, kita sedang mengajak roh kudus bekerja untuk mengkhotbahkan khotbah kita itu pertama kali kepada diri kita sendiri. Dengan menuliskannya secara lengkap, sadar atau tidak sadar kita mempergumulkan khotbah yang akan kita khotbahkan.
Menurut Pdt Dr E.P. Gintings dalam bukunya Khotbah dan Pengkhotbah, Sebuah Pengantar Homilitika Masa Kini, pengkhotbah yang baik akan membiarkan khotbahnya mengisi pikirannya berhari-hari sebelum khotbah itu dikhotbahkan. Ia merenungkannya terus-menerus dalam setiap denyut kehidupannya. Ia mencari relevansi isi khotbahnya dalam jejak kehidupan yang ia jalani. Khotbah yang akan ia khotbahkan itu jadi sumber perenungannya dimana pun ia berada. Entah ia sedang makan, dalam perjalanan di bis, bertemu dengan orang dan sebagainya. Bagaimana kita dapat menggumulkan khotbah yang akan kita sampaikan itu dalam tiap detik hidup kita? Salah satunya dengan menuliskannya sebagai langkah awal, memudahkan pengkhotbah untuk menginternalisasi khotbahnya ke dalam dirinya.
Proses menulis khotbah tersebut tentunya bukan proses sekali jadi. Jika memiliki waktu yang cukup panjang, proses menulis khotbah adalah semacam proses menggali, mencangkul, menambahkan pupuk ilustrasi, kemudian menyiangi kalimat-kalimat yang kurang bagus atau kurang kuat, baru kemudian memikirkan cara menyampaikannya.
Dan pada akhirnya, ketika kita berkhotbah, kita harus puas bahwa tidak mungkin semua yang kita tuliskan itu dapat kita ucapkan persis. Bahkan, menurut para pengkhotbah yang berpengalaman, di mimbar, justru roh kudus akan bekerja lebih nyata mengajari kita untuk berbicara beyond dari apa yang kita tulis. Khotbah yang sudah terlebih dulu kita pergumulkan melalui tulisan, niscaya menjadi bagian dari persiapan kita untuk mengenali apa yang ingin Tuhan sampaikan melalui kita. Dalam kata-kata E.P. Gintings, itulah yang disebut "batas pengkhotbah." Sesuatu yang melampaui kemampuan si pengkhotbah akan terjadi, manakala ia mempersiapkan diri dan membuka diri untuk dipakai untuk berkhotbah.
Pada 26 Agustus lalu, aku berkhotbah di Panti Werda Kristen Hana. Dan aku mencoba mempersiapkan khotbah itu, dengan terlebih dulu menuliskannya secara lengkap beberapa hari sebelumnya. Nats diambil dari Mazmur 27:1-14 dengan tema, Diam di Rumah Tuhan. Naskah lengkap khotbah itu dapat dilihat di sini: Khotbah di PWK Hana. Dan sebagaimana kukatakan tadi, khotbah ini tidak kubacakan kata demi kata. Namun, harus kuakui, khotbah yang sudah kutuliskan itu sangat membantuku ketika berkhotbah di depan Opa dan Oma yang mendengarkannya. .
No comments:
Post a Comment