Tadi pagi merayakan 17 Agustus bersama remaja dalam ibadah yang
diberi tema "Memaknai Kemerdekaan." Nats khotbah diambil dari Ulangan
5:12-15, dengan pesan utama, kemerdekaan merupakan bagian dari cara
Tuhan memakai kita memerdekakan sesama. Dimerdekakan (saja) oleh Tuhan
bukan tujuan, melainkan perjalanan untuk membangun hidup yang bermakna.
Khotbah pagi tadi sebagian besar kami isi dengan mendiskusikan sebuah
bab yang mengharukan dari otobiografi Pdt Daniel Taruli Asi Hara
hap
yang berjudul "Anak Penyu Menggapai Laut." Bab tersebut berjudul
"Kosarek (Dua Tahun Lalu yang Terus Membekas)," yang berisi
kenang-kenangan Pdt Daniel Taruli Asi Harahap ketika di tahun-tahun awal
studinya di STT Jakarta, dikirim ke Kosarek, sebuah desa terpencil di
pedalaman Papua, hampir berbatasan dengan Papua Nugini.
Melalui bab yang aku minta mereka baca bergantian secara berkelompok,
anak-anak itu berkenalan dengan Luther, seorang anak remaja Kosarek yang
galau karena babinya sakit dan minta didoakan (ajaibnya, sesudah
didoakan oleh Daniel yang rikuh karena belum pernah mendoakan babi, babi
itu justru sembuh).
Anak-anak remaja itu juga belajar menghayati
pelayanan Pdt Kafiar di Kosarek, yang menyelenggarakan perjamuan kudus
dengan ubi jalar dan air putih, di gereja tanah yang belum akrab dengan
roti, anggur dan gelas. Di Kosarek, sebagaimana disaksikan oleh Daniel,
tidak ada listrik, tidak ada gas bahkan tidak ada pemerintah. Yang ada
hanya gereja, dan Pdt Kafiar yang melayani mereka di sana, kadang-kadang
sudah seperti Yesus, sumber segala sumber kebijakan dan solusi.
Di akhir ibadah, sejumlah anak remaja itu berjanji akan bersekolah lebih
sungguh-sungguh dan akan lebih menghayati lagi arti belajar sebagai
bagian dari menempa diri untuk membangun masa depan. Sehingga kelak
mereka turut ambil bagian dalam memerdekakan sesama, seperti kawan-kawan
mereka di pedalaman Papua (dan tentu di berbagai pelosok Banten yang
juga masih ada yang mengalami ketidak-merdekaan yang sama).